XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Percakapan Tentang Pekerjaan

Ilustrasi: Farras Pradana



Sebuah botol air mineral melayang di atas kepalanya. Ia mengikuti gerak benda itu dari kemunculannya di tribun selatan hingga jatuhnya di tribun barat. Ia menarik rokok di sela jari tangan kirinya menjauh dari bibirnya. Ini waktunya, pikirnya. Kedua tangannya secara tiba-tiba menggenggam kamera yang tergantung di lehernya. Tangan kiri memutar lensa dan tangan kanan berdiri gemetar di atas tombol jepret. Secara bersamaan, kedua tangan itu mengarahkan bidikan kamera pada suporter di tribun bara.


Dapat. Ia mendapatkan foto reaksi penonton yang dilempari botol air mineral. Lantas, ia berdiri dan berjalan naik ke bagian atas tribun.


“Permisi, permisi,” ucapnya sembari berjalan di antara orang-orang. Sore itu, stadion penuh dengan penonton. Sejauh mata memandang, tidak terlihat tempat kosong di area tribun.


Ia melangkah sambil mengawasi kerumunan penonton di kedua sisi. Tanpa peduli pertandingan sepak bola yang terjadi di bawah.


Lumayan, pikirnya, aku mendapatkan satu babak permainan sepak bola yang panas dan gambar yang bagus.


Ia berhenti berjalan naik. Ia berdiri di dekat pintu keluar bagian atas tribun selatan. Berdempetan dengan orang-orang yang siap kabur. Penonton di area antara tribun selatan dan barat itu tampak tenang. Seolah-olah mereka bukan bagian dari kedua suporter yang sedang terbakar amarah.


Sorak-sorai suporter antar kedua tim yang bertanding tidak lagi terkendali. Nyanyian yang tadi dinyanyikan suporter kedua kesebelasan buyar. Percikan api muncul dari tribun utara. Laki-laki itu segera mengangkat kameranya lagi. Membidik setiap momen yang pantas diambil.


Laki-laki itu melepaskan tangan kirinya dari kamera, lalu mengangkatnya. Jam di pergelangan tangannya menunjukan pukul 16.10. Dua puluh menit lagi, batinnya, aku harus keluar dari sini. Tapi, sial. Belum juga lima menit, ribuan botol sudah melayang di atas kepalanya. Datang dari sisi selatan maupun barat. Hujan botol itu diikuti pecahan keramik. Kembang api meletus. Orang-orang di dekatnya bersiap mencari tempat aman.


Pemain di atas rumput masih berlari menggiring dan mengejar bola. Papan skor di sisi timur masih tidak berubah sejak peluit pertandingan dimulai.


Rokok di tangan kirinya memendek. Ia membuang puntung itu di bawah sepatunya. Pandangannya bergeser ke kiri dan ke kanan. Kedua suporter mulai bergerak saling menghampiri. Menuju titik temu di bagian tempat laki-laki itu berdiri. Penonton di antara kedua tribun terdesak.


Sebuah keramik mengenai kepala seorang pemuda yang ada di dekatnya. Beruntung batok kepala pemuda itu kuat. Ia terkejut. Ia menarik napas, lalu masuk ke dalam pintu keluar. Kemudian, tanpa peduli pada hiruk-pikuk yang terjadi, ia memutuskan untuk keluar dari stadion. Saat berada di parkiran, ia hanya mendengar suara letusan dan teriakan. Ia mengamati keadaan di sekitarnya. Beberapa orang sudah ada di parkiran.


Laki-laki itu mengeluarkan rokok dan menyalakannya. Baru satu kali isapan, ponselnya tiba-tiba berbunyi.


“Beruntung kau tidak datang liputan hari ini,” kata suara di ujung telepon.


“Aku datang ke stadion, Mas,” jawabnya.


“Lha,” orang di seberang kaget. “Kamu di mana sedari tadi?”


“Aku di tribun, Mas.”


“Mana ada wartawan sepak bola meliput dari tribun, haduh-haduh.”


“Terus, Mas?” Laki-laki sedikit bingung. “Aku dapat foto-foto keributan di tribun.”


“Haduh-haduh, ini kalau penulis berita disuruh turun liputan ke lapangan. Kukira kau tahu, haduh-haduh.” Setelah mengucapkan beberapa “haduh-haduh” orang yang menelpon itu bertanya, “Sekarang kau di mana?”


“Aku di parkiran, Mas.”


“Oke, tunggu di sana. Jangan pergi.” Telepon ditutup.


Sepuluh menit kemudian, seseorang berbadan gempal datang menghampiri laki-laki itu.


“Halo, Mas.” Laki-laki itu menyapa.


“Haduh-haduh .... Sini berikan rokokmu.”


Laki-laki itu menarik bungkus rokok dari saku depan kemejanya, dan mengulurkannya kepada orang yang baru datang.


“Bagaimana keadaan di dalam, Mas?”


“Eh, Lukas, kenapa kau tak bilang kalau kau ada di tribun?”


“Katamu, langsung datang ke stadion, Mas.”


“Ya, kukira, kau tahu bagaimana bergerak di lapangan.”


“Selama ini, aku .…” Belum selesai Lukas berkata-kata, dari pintu masuk ke dalam stadion, orang-orang berhamburan keluar. Tak lama kemudian, sembilan mobil polisi datang.


“Ayo, kita keluar dari sini.”


Orang bertubuh gempal itu membawa Lukas berlari ke arah gerbang area stadion. Ketika keduanya sudah berada di luar gerbang, penonton yang keluar dari dalam stadion semakin banyak. Mereka yang tersulut emosi, melemparkan apa saja yang ada di tangan ke arah polisi. Lukas tidak menyia-nyiakan apa yang terjadi. Ia segera mengarahkan kamera dan menjepret.


“Apa yang kau lakukan?” Orang bertubuh gempal itu bertanya.


Dengan bingung, Lukas menjawab, “Memfoto.


“Untuk apa?”


“Koran?” Lukas tidak yakin dengan jawabannya sendiri.


“Mau ditaruh di mana foto seperti itu?” Orang bertubuh gempal itu bertanya dengan nada mengejek.


Lukas berhenti memotret.


“Kau di sini untuk liputan sepak bola, bukan yang lain.”


“Tapi ini penting, Mas. Menarik.”


“Terserah kau saja,” tukas orang bertubuh gempal itu dengan nada kesal. “Kalau sudah dapat apa yang kau mau, ayo segera pergi dari sini.”


Batu-batu yang dilempar suporter ke arah polisi terbang sampai ke tempat dua orang itu berdiri. Tidak lama kemudian, Lukas selesai. Ia mendapatkan beberapa jepretan yang menurutnya bagus. Meski, semua gambar itu dari sudut yang sama.


Selanjutnya, Lukas dan orang bertubuh gempal itu berjalan menjauhi stadion. Lukas mengeluarkan bungkus rokoknya, menariknya sebatang, menaruhnya di bibir, dan menyalakannya.


Orang bertubuh gempas itu berkata, “Setelah ini, kau yang tulis berita.”


“Foto-foto ini gimana, Mas?” 


“Itu urusanmu. Pekerjaan kita hari ini cuma menulis soal kejadian di lapangan dan menyisipkan beberapa gambar pemain yang sedang berlari. Dan itu semua, aku yang mendapatkannya. Kau harus banyak-banyak belajar dari aku, hadeh-hadeh.”


“Tapi sepak bola tidak hanya itu. Ada suporternya, Mas.”


“Kau bisa bicarakan itu dengan Pimred kita nanti.” Orang bertubuh gempal itu mengeluarkan asap dari mulut dan hidungnya. “Kenapa kau mau terjun ke lapangan? Bukannya kau nyaman mengetik di belakang komputer?”


“Tentu saja, Mas. Itu tidak membutuhkan banyak keringat, apalagi aku bisa membaca banyak hal,” jawab Lukas. Sebelum melanjutkan  ia bertanya, “Apa kita tidak makan?”


“Tidak ada warung yang buka di sekitar stadion ketika ada pertandingan. Orang-orang takut, warung mereka jadi sasaran suporter. Kita makan di kantor.”


“Kembali ke topik sebelumnya, seminggu yang lalu aku minta izin sama Pimred untuk jadi fotografer lapangan.” Lukas meneruskan. “Aku terinspirasi sampul-sampul majalah luar negeri yang berupa foto. Mereka mampu menciptakan gambaran yang menakjubkan dalam satu bingkai persegi panjang. Gambar itu berbicara segalanya.”


“Hadeh-hadeh, aku seperti mendengar omong kosong mahasiswa baru lulus dan ingin mendapatkan pekerjaan yang nyaman.”


“Ya, kau benar, Mas. Aku merasa seperti itu. Tapi, apa tidak boleh aku merasakannya sekali lagi? Di tengah kemapananku sebelumnya menjadi penulis artikel?”


Orang bertubuh gempal itu tidak menanggapi.


“Menjadi penulis juga pekerjaan yang tidak buruk. Hanya saja, setelah aku melakukannya selama hampir lima tahun, segalanya berubah. Situasinya tidak seperti pertama kali aku melakukannya. Aku ada di ruangan yang sama dengan komputer yang sama. Hal itu jelas berbeda denganmu, Mas. Kau berpindah-pindah stadion. Berganti suasana setiap kali tim yang bertanding berbeda. Ada perbedaan antara kau dan aku, Mas.”


“Jadi maksudmu, kau ingin berganti-ganti suasana?”


“Kurang lebih seperti itu.”


“Tapi, apa yang kau inginkan itu tidak sepenuhnya benar. Dalam pekerjaan ini, maksudku, apa yang kau lakukan, berpindah kedudukan dari satu hal ke hal lainnya, sangat mungkin akan mengganggu keadaanmu. Bukan perkara penyesuaian atau mencoba beradaptasi. Bukan.” Orang bertubuh gempal itu membuang rokoknya yang telah menjadi pendek.


“Maksudku, kau akan meninggalkan apa yang telah kau jalani selama lima tahun. Kau kadang akan tertambat ke dalam waktu-waktu yang berharga itu. Terus menerus. Sampai pada satu titik, meski kau sudah menjalani kedudukanmu yang baru dengan lancar, kau akan menyadari sesuatu. Kau tidak menghasilkan apa pun. Pikiranmu ada di sana. Apa yang kau lakukan dengan kedudukan barumu itu hanya berfungsi memukul dirimu yang sebenarnya. Dirimu yang bersemayam dalam waktu lima tahun itu.”


“Maksudmu, Mas? Aku punya pilihan untuk kembali sebelum terlalu jauh?”


Mereka berdua sampai di pinggir jalan. Orang bertubuh gempal itu berkata, “Kita tunggu bus dalam kota di halte.”


Keduanya belok kiri, berjalan sejauh sepuluh meter. Duduk di dalam halte, menunggu bus. Orang bertubuh gempal itu mengeluarkan botol air mineral dari dalam tas. Ia meneguk isinya. Lalu mengulurkan pada orang di sebelahnya. Lukas menerima botol itu setelah membuang rokoknya. Ia menghabiskan isinya, dan membuang botol itu ke tempat sampah di dalam halte.


“Apa, Mas, mengatakan itu semua karena yang kulakukan hari ini tidak benar?


“Tidak. Malah sebaliknya, apa yang kau lakukan hari ini cukup baik sebagai fotografer. Kau punya intuisi yang tajam soal gambar yang harus kau ambil.” Orang bertubuh gempal itu berhenti sejenak. “Aku mengatakan apa yang kukatakan tadi, melihat dari bagaimana selama ini kau menulis.”


Bus dalam kota berhenti di halte. Pintu terbuka. Dua orang itu masuk ke dalam dan langsung menempati bangku yang kosong.


Lukas menyalakan kameranya. Ia melihat foto-foto hasil jepretannya. Setelah beberapa saat, ia menghapus semua foto yang ada.



Farras Pradana

Editor: Ananda Poetri Habibah dan Megi Suhartini


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar