XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Kehutanan yang Maha Esa: Persatuan Ekosistem, Keadilan Yuridis Bagi Seluruh Makhluk Bumi

Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai


Maret 2021 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan bangga menyebutkan, Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi bersih tahun 2018-2020  seluas 570.000 hektar, hampir setara luas Jakarta. Kehilangan hutan hampir seluas Jakarta dalam waktu tiga tahun, apa yang patut dibanggakan?


Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, klaim KLHK bahwa ada penurunan laju deforestasi itu perlu dibuktikan dengan membuka akses informasi mengenai data spasial mengenai tutupan hutan. Dari data spasial yang dibuka itu publik bisa turut melihat luasan deforestasi yang diklaim KLHK benar adanya atau tidak. Data spasial yang bersifat interaktif tersebut kurang lebih bentuknya seperti saat kita menjelajah Google Earth. Coba bayangkan.


Padahal, kalau kita tengok ke belakang, luas tutupan hutan alam yang belum dibebani konsesi pada 2017 hanya seluas 50.809.495 hektar atau sekitar 26,7% dari total luas daratan Indonesia (FWI, 2018). Itu data tahun 2017, ketika izin pemusnahan hutan agak ruwet, dan ketika Omnibus Law yang sekarang menjadi Undang-Undang Cipta Kerja disahkan. Belum lagi, masih ada peluang hutan-hutan sisa yang ada, bisa saja dibebani konsesi sawit, tambang, dan lain-lain.  


Seperempat lebih sedikit luas daratan Indonesia itu kurang lebih seperti luas Indonesia yang diakui Belanda secara de facto pada 1946 lewat negosiasi Sjahrir dan kawan-kawan di Perjanjian Linggarjati: Jawa, Madura, dan Sumatera. Saat ini, Indonesia sudah 75 tahun merdeka, tapi sekarang giliran hutannya terjajah.  Apa, iya, seluruh flora-fauna yang berumah di hutan tropis Indonesia harus melakukan perundingan dengan pemerintah Indonesia untuk meluaskan wilayah?


Jika saja, Siti Nurbaya Bakar sebagai Menteri LHK paham, bahwa deforestasi itu bukan sebatas deretan angka luasan hutan. Jauh melampaui itu, deforestasi adalah perampasan ruang hidup seluruh makhluk hidup yang mendiami hutan. Seperti korban-korban yang berjatuhan di medan perang, bukan sekedar angka. Semoga Menteri LHK lekas sadar musnahnya hutan sekecil apa pun, bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Ada makhluk bernyawa yang kehilangan hak hidupnya. Bahwa banjir, hujan lebat, angin kencang sampai gelombang panas adalah bentuk protes mereka.


Ada hak-hak yang perlu dilindungi dalam setiap jengkal luasan hutan. Seandainya pohon berhak untuk membela diri di hadapan hukum ketika ditebang, sebagai makhluk hidup, seperti yang disampaikan Christoper D. Stone dalam karyanya Should Trees have Standing? (1972), mungkin manusia akan terbelalak melihat hal itu. Namun, alam berinteraksi dengan cara lain, dengan tidak serta-merta datang ke persidangan manusia. Kadang lewat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tapi kalau pemerintah masih bebal, bencana alam yang akan jadi momoknya.


Kalau merujuk laporan FWI tahun 2018, laju deforestasi Indonesia dalam kurun 2000-2017  cukup membuat kita misuh-misuh sendiri. Laju deforestasi Indonesia mencapai 1,5 juta hektar tiap tahun selama 2000-2009, kemudian 1,1 juta hektar tiap tahun selama 2009-2013, dan 1,47 juta hektar selama 2013-2017. Berarti selama itu, rata-rata hutan dimusnahkan ada 1,4 juta hektar tiap tahun. Kalau tren ini terus berlanjut, artinya 36 tahun mendatang --dihitung dari 2017-- pada tahun 2053, dengan sisa hutan alam yang belum dibebani konsesi, Indonesia tidak mempunyai tutupan hutan alam lagi.


Dengan begitu, pertanyaannya, apakah kita benar-benar sudah melupakan fungsi hutan?


Hutan ini sebagai penyangga kehidupan. Menyediakan obat-obatan alami, penyeimbang iklim agar bumi tetap bisa dihuni manusia, menghasilkan oksigen untuk bernapas. Kalau tak ada produsen oksigen, kita mau bernafas pakai apa? Helium? Jadilah balon udara saja kalau begitu. Kalau hutan alam di Indonesia hilang, paling lama kita hanya bisa menahan napas empat menit. Setelah itu meninggal. Tapi, sebelum meninggal karena kehabisan napas, kita akan merasakan panas, cuaca ekstrim semacam badai siklon tropis. Disiksa dulu sebelum meregang nyawa, betapa menyakitkannya.


Negara ini letaknya ada di antara lautan yang luas dan daratan yang luas pula. Potensi badai sangat besar dengan letak yang demikian itu. Hal ini adalah konsekuensi dari iklim global. Bahkan, wilayah kita ini dikelilingi pangkalan badai-badai besar di wilayah selatan dan utara yang suhu permukaan lautnya hangat. Lebih hangat karena sekali waktu, matahari lebih dekat di dua wilayah tersebut karena revolusi bumi. Namun, suhu di wilayah tropis akan naik drastis seiring hilangnya hutan. Suhu permukaan laut akan naik sampai memenuhi syarat terbentuknya badai.


Atau, untuk mengantisipasi iklim global pemerintah mau membangun kubah raksasa yang melingkupi wilayah seluas 7 derajat lintang utara sampai 11 derajat lintang selatan, membujur dari 95 sampai 141 derajat bujur timur, dan memasang pendingin kubah skala besar agar suhu ruangan tetap terjaga. Ya, boleh saja semacam film Hunger Games atau tempat penangkaran Titan Kong dalam film Kong vs Godzilla.


Untuk menjamin hutan kita tetap lestari dan jangan sampai pemerintah dengan paradigma pembangunnya membangun kubah raksasa, perlu lebih dari sekedar membudayakan hidup ramah lingkungan. Seperti kata Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, pengawasan penting bahkan faktor kunci dalam menekan deforestasi dan korupsi di sektor sumber daya alam. Penegakan hukum, katanya, tidaklah cukup.


Harus ada revolusi hukum di Indonesia. Bagaimanapun itu, keadilan yuridis bagi seluruh makhluk di muka bumi harus kita usahakan. Pemerintah dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipilnya bisa membuatkan Kartu Tanda Penduduk untuk tiap tanaman dan hewan. Jadi, si tanaman mempunyai hak-hak sipil seperti membela diri ketika mau ditebang. Atau kalau pemerintah kesusahan, libatkan lingkup kecil dari masyarakat: keluarga. Masukkan pohon-pohon di sekitar masyarakat ini ke dalam Kartu Keluarga mereka. Agar kelak, mereka dirawat layaknya anggota keluarga. Bagi warga wilayah urban, kalau tak ada pohon, tanam sendiri, ajukan ke dinas berwenang, rawat sendiri sampai ia tumbuh sehat dan dapat mandiri. Lebih beragam warga sipil kita, lebih terasah pula rasa toleransinya. Semoga. Sekali dayung, dua-tiga aspek pembangunan terlampaui.


Sebagai warga negara yang baik, keberagaman itu sudah terang-terangan tercantum dalam pita Burung Garuda. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda, beraneka ragam makhluknya tapi tetap satu jua, menjadi satu kesatuan alamiah dalam sebuah ekosistem. Ekosistem Garuda Pancasila. Pita tempat bertengger yang terlihat dicengkram Burung Garuda itu memberi makna bahwa keragaman biodiversitas adalah pijakan bagi tegaknya lima sila di dada Burung Garuda.


Kita semua tahu, hitung-hitungan iklim yang ada sudah sedemikian peliknya. Sehingga, pilihan gaya hidup individu tak berpengaruh banyak, kecuali kalau skalanya diperbesar oleh kekuatan politik, dan jangan nanggung. Kita ubah saja dasar negara menjadi cukup tiga sila: kehutanan Yang Maha Esa, persatuan ekosistem, dan keadilan yuridis bagi seluruh makhluk hidup di muka bumi. Sekalian mengamandemen UUD kalau toh ternyata Pakdhe Jokowi mau maju untuk tiga periode. Dengan kemampuan DPR yang menyapu jagad puluhan UU menggunakan Omnibus Law, yang banyak dikritik pakar hukum tata negara, saya kok optimis, rasanya mengubah itu bukan hal mustahil bagi para dewan terhormat.


Sesuai tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini, mari kita merestorasi bumi dengan pertama-tama mengubah paradigma berbangsa dan bernegara.


Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia!



Abeyasa Auvry
(Penulis merupakan mahasiswa Pendidikan Geografi FIS-UNY 2016)

Editor: Farras Pradana

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar