XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Nasionalisme (yang Tamak)

 

Illustrasi: Rachmad Ganta

“Apa yang Anda lakukan setiap pukul sepuluh pagi ?”


Jawaban atas pertanyaan singkat itu bisa jadi beragam. Untuk para pegawai kantoran di Jakarta, mungkin mereka tengah menaruh jari-jarinya di atas keyboard, menggarap laporan yang harus segera diserahkan ke bos hari itu juga.


Beda lagi dengan para kuli di Surabaya. Pada jam tersebut, mungkin mereka sedang mengaduk campuran pasir dan semen, sebagai adonan perekat batu bata bakal real estat mewah di Kota Pahlawan itu.


Sementara bagi para mahasiswa yang tengah menjalani perkuliahan daring, pukul sepuluh adalah waktu menyimak materi perkuliahan yang membosankan. Untuk sebagian penganggur, pukul sepuluh pagi jadi waktu yang nyaman untuk melanjutkan tidur, atau bangun sekadar menyeruput kopi sebagai teman mengkhayal.


Begitulah rutinitas; beda orang, beda tempat, meski di waktu yang sama, tetap beda aktivitas.


Namun, bagi para buruh di Daerah Istimewa Yogyakarta, pukul sepuluh pagi adalah saat di mana mereka melakukan “tugas” serupa.


Mesin-mesin mulai dimatikan. Para buruh berdiri, yang mungkin beberapa ada yang menaruh kepalan tangan di dada. Ketika lagu kebangsaan terdengar, secara serentak para buruh ikut bernyanyi. Ada yang hikmat, ada yang hanya menyimak, ada yang bosan, dan tak sedikit ada yang khawatir tentang perekonomian keluarga mereka karena gaji Upah Minimum Regional (UMR) tak sampai kepala dua.


Inilah Jogja. Buruh diwajibkan mendengarkan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” setiap pukul sepuluh pagi. Dalih “meningkatkan semangat nasionalisme”, seperti termaktub dalam Surat Edaran Gubernur DIY No. 29 Tahun 2021, jadi alasan utama, meskipun bukan jadi jaminan peningkatan kesejahteraan mereka.


Pertanyaannya tentu klise: Mungkinkah mendengarkan lagu kebangsaan secara rutin dapat meningkatkan semangat nasionalisme? Melontarkan pertanyaan seperti itu tidak salah, bahkan harus ditanyakan. Namun, sebelum menjawab pertanyaan itu, ada pertanyaan yang lebih esensial lagi, apa itu nasionalisme? Dan benarkah ia baik?



Nasionalisme


Sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, kita sudah dijejali produk pengetahuan tentang arti nasionalisme. Kiranya, secara tekstual, para guru dan dosen menerjemahkan nasionalisme sebagai paham/ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Definisi itu pula yang akan kita dapat ketika mencarinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Singkat, padat, dan jelas bukan?


Namun, sejatinya nasionalisme tak sesederhana mencintai bangsa dan negara. Tidak seremeh-temeh itu. Sebagai sebuah–yang katanya–ideologi/ajaran, ia punya sejarah yang panjang. Semua begitu politis dan filosofis.


Achin Vanaik, penulis buku Nationalist Dangers, Secular Failings: A Compass For An Indian Left (2020) sepakat dengan definisi Benedict Anderson tentang bangsa sebagai "komunitas yang dibayangkan" untuk memaknai nasionalisme. Dalam konteks ini, sebuah bangsa muncul ketika sejumlah besar manusia melihat diri mereka sebagai “sesuatu yang satu”, sehingga, akhirnya mencari kontrol politik atas ruang teritorial.


Ada yang lahir sebagai bangsa karena kesamaan suku, kesamaan ras, kesamaan bahasa, kesamaan sejarah, bahkan kesamaan agama, maka mereka mencari “kedaulatannya” sebagai pengakuan atas kesamaan-kesamaan tersebut.


Nasionalisme Cina, misalnya, yang lahir dari bangsa Han; ideologi Zionisme akhirnya melahirkan nasionalisme negara Israel; atau, dalam konteks Timur Tengah, darah Arab yang mengalir dalam tubuh mereka akhirnya membentuk kesadaran tentang “Nasionalisme Arab”.


Lalu, bagaimana dengan di negara bekas kolonial seperti Indonesia?


Dengan menyitir bukunya Vanaik, aktivis asal Punjab Amol Singh dalam laman Jacobin menyatakan, “Nasionalisme negara bekas jajahan lahir sebagai antitesis budaya penjajah itu sendiri.”


Ia mencontohkan dalam konteks nasionalisme India, yang mana dalam perjuangan anti-kolonial, mereka membangun nasionalisme tradisional-esensialis untuk melawan superioritas ideologis yang ditanamkan penjajah Inggris. Para intelektual di India dengan cerdik membuat simbol dan sejarah umum untuk menyediakan “amunisi budaya”, yang dapat digunakan untuk melawan kekuasaan kolonial.


Proses ini dapat menjadi reaksioner atau progresif, tergantung pada karakter kelas intelektual yang terlibat dalam proyek pembangunan budaya tandingan ini. Dalam kasus India, kelas tersebut sebagian besar terdiri dari laki-laki Hindu kasta atas.


Setelah merdeka, kelas yang membangun budaya tandingan ini akhirnya melakukan integrasi politik–usaha menyatukan elite dengan massa secara politis dan teritorial. Maka tak heran, jika pada akhirnya nasionalisme India mengarah pada nasionalisme Hindu.


Di Indonesia pun demikian, nasionalisme yang dibentuk penuh dengan perdebatan. Ketika Sukarno menyatakan bahwa “teritorial Indonesia mencakup seluruh wilayah bekas jajahan Belanda”, dari sana kita dipaksa untuk merasa satu nasib, merasa satu bahasa, dan merasa satu bangsa. Padahal jelas, apa yang dirasakan orang Jawa dengan Aceh berbeda; apa yang dirasakan bangsa Papua dengan Sumatera tidak sama. Sejarah Indonesia tak sesederhana narasi “penjajahan 350 tahun” seperti yang digambarkan di buku-buku sekolah–yang telah lama digugat oleh G.J. Resink.


Dengan demikian, dapat dilihat bahwa, nasionalisme yang digaungkan oleh para elite politik,  dilirik dari praktiknya memang mampu membawa masyarakat terjajah lepas dari kolonialisme, tapi sekaligus membawanya ke dalam kandang yang lain. Suatu ruang di mana perseteruan perbedaan di dalamnya diatasi dengan dominasi hegemoni. Sebuah hal yang membuat nasionalisme tidak benar-benar tuntas, dan kadang malah menjadikan nasionalisme hanya sebagai kepanjangan tangan dari kolonialisme itu sendiri. Jika kolonialisme punya anak kandung bernama penghisapan, penjajahan, dan kekerasan yang terus mengalami perlawanan, nasionalisme pun demikian. Bedanya, ia dibanalkan atas nama cinta tanah air.



Nasionalisme Itu Tamak


“Nasionalisme itu berbahaya!”


Ya, kendati kalimat ini terasa aneh, khususnya untuk sebagian orang yang menelan mentah-mentah dogma “cinta bangsa dan negara”, tapi memang begini adanya. Dalam mengurainya, setidaknya penulis memiliki tiga alasan utama.


Pertama, sebagaimana pernah ditulis George Orwell bahwa, "Seorang nasionalis adalah orang yang hanya berpikir–atau utamanya, dalam hal-hal yang sifatnya kompetitif [...] pikirannya selalu mengarah pada kemenangan, kekalahan, dan penghinaan." Parahnya lagi, para pemimpin nasionalis kerap menyerang dan melemahkan siapa pun yang mempertanyakan “program nasionalis” dengan menghancurkan gerakan sosial.


Di Indonesia, indikasi ini terlihat dari bagaimana pemerintah menangkap, memenjarakan, bahkan menyiksa para aktivis pro-demokrasi. Bahkan, lihat saja bagaimana tertutupnya Republik ini dengan segala bentuk penindasan di Tanah Papua, dengan dalih “melindungi negara” atau “menegakkan kedaulatan bangsa”.


Kedua, nasionalisme berkontribusi pada fragmentasi internal dan ketidakstabilan. Dalam kata lain, nasionalisme dekat dengan sikap-sikap xenofobia (ketakutan terhadap sesuatu ‘yang asing’), yang mengharuskan kita untuk memutuskan siapa yang benar-benar menjadi bagian dari bangsa dan bukan. Nasionalisme mendorong sikap dan kebijakan yang eksklusif, yang akhirnya membuat masyarakat menjadi berprasangka terhadap segala sesuatu yang dianggap liyan.


Misalnya, di Amerika Serikat pada masa pemerintahan Donald Trump, ia menutup perbatasan dengan Meksiko karena berprasangka bahwa imigran hanya akan berdampak buruk pada kehidupan “masyarakat asli” negaranya.


Sementara di Indonesia, fragmentasi ini terlihat bagaimana kita membikin prasangka yang sedemikian kejam terhadap orang-orang peranakan, yang kita identifikasi sebagai sesuatu yang liyan sekaligus ancaman. Imbasnya, kita lihat bagaimana sikap ini akhirnya meletus pada peristiwa mengerikan di tahun 1998, yang mana banyak pertokoan Tionghoa dibakar, dijarah, dan gadis-gadisnya diperkosa oleh orang-orang yang mengaku “asli Indonesia”.


Terakhir, (mungkin) ini yang paling berbahaya. Mengutip Ali Mohammed Naqvi dalam Islam and Nationalism (1984), “Untuk memuliakan dirinya sendiri, nasionalisme umumnya menggunakan anggapan yang mengawang; melebih-lebihkan; logika yang salah; cemoohan dan pujian diri yang tidak dapat diterima; hingga yang terburuk, adalah pemelintiran sejarah dengan mitos-mitos  imajiner.”


Ada banyak peristiwa sejarah yang ditutupi (dimanipulasi), demi kepentingan tertentu, atau jika kebenaran terungkap maka ditakutkan akan mengikis rasa nasionalisme masyarakatnya. Semisal, terkait peristiwa-peristiwa pada Masa Bersiap: siapa yang tahu bahwa pada masa ini orang-orang Belanda dan orang-orang yang dianggap kroninya, dibantai oleh para laskar pejuang kemerdekaan? Tentu tidak banyak, karena memang tidak diajarkan. Kita semua tahu alasannya.


Atau, berapa orang yang tahu, bahwa tanah-tanah rakyat dirampas oleh militer Indonesia pasca 1965, sebagaimana ditulis Herlambang P. Wiratraman dalam penelitiannya berjudul Politik Militer dalam Perampasan Tanah Rakyat? Tentu tidak banyak. Karena jika sejarah  itu dibuka, akan banyak orang yang menganggap militer jahat–yang dianggap patriot pasca-peristiwa G30S.


Itu hanyalah contoh kecil. Ada ratusan peristiwa sejarah yang dimanipulasi oleh negara karena ketamakan dari sifat nasionalisme itu sendiri. Para Nasionalis tidak akan punya hati sebesar Jerman, yang mengakui kejahatan NAZI setelah membantai jutaan Yahudi dalam Holocaust. Yang ada, mereka malah menolak sejarah kelam negaranya: seperti Jepang yang enggan mengakui kejahatan kepada Jugun Ianfu di Asia-Pasifik; Turki yang menutup mata atas pembantaian Kristen Armenia oleh Ottoman; Rusia yang menolak Progrom sebagai kejahatan; atau Indonesia, yang malah membenarkan genosida atas orang-orang yang dianggap PKI pada 1965-1966.


Jadi, kita sampai pada konklusi dari premis awal, “Apakah nasionalisme semerdu instrumen lagu Indonesia Raya yang didengarkan oleh para buruh Jogja?” Pada akhirnya, harus diakui, bahwa praktik-praktik dari nasionalisme Indonesia itu sendiri hanya menjadi asap yang berasal dari tumpukan jerami. Alhasil, kita tinggal menunggu waktu di mana jerami itu terbakar dan merembet hingga meluluhlantakkan rumah pemiliknya. Mungkin sebagian dari kita tidak akan percaya, tapi mari kita coba tanyakan kepada Bangsa Uighur di Xinjiang, atau Bangsa Basque di Spanyol, di mana nasionalisme telah menggali kuburan mereka.


Ahmad Effendi

Editor: Farras Pradana


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar