XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Tak Semua Asa Berbuah Bahagia

Salah satu bagian dalam  anime "Your Lie in April" (Foto: IMDb)

Judul: Shigatsu wa Kimi no Uso (Your Lie in April)

Sutradara: Kyohei Ishiguro

Penulis Sekenario: Takao Yoshioka

Produksi: A-1 Pictures

Episode: 22

Tayang: Oktober 2014 - Maret 2015


Naoshi Arakawa merupakan komikus asal Jepang yang memulai debutnya pada tahun 2007 dengan Tsumetai Kousha no Toki wa Tomaru (Sekolah yang Membeku dalam Waktu), yang merupakan adaptasi dari novel misteri karangan Mizuki Tsujimura. Pada tahun 2010 Arakawa menyelesaikan seri manga soccer dengan judul Sayonara Football, dan ia pun mulai dikenal.



Salah satu hasil karyanya yang terkenal adalah Shigatsu wa Kimi no Uso yang telah diadaptasi menjadi anime pada tahun 2014 dan film live action pada tahun 2016. Naoshi Arakawa benar-benar berhasil menciptakan karya yang susah bikin move on. Tidak heran jika manga (komik) ini memenangkan Kodansha Manga Award pada 2013.



Namun, kali ini bukan alur kisah Arima Kousei dalam anime Your Lie in April atau dalam bahasa Jepang Shigatsu wa Kimi no Uso yang akan saya bahas, melainkan trauma dari tokoh utama anime tersebut.



Dalam anime digambarkan bahwa Arima Kousei mengalami trauma kejiwaan karena merasa bersalah atas kematian ibunya. Akibat dari trauma yang dialami, Arima Kousei menjadi tidak dapat mendengar permainan pianonya meski secara fisik pendengarannya baik-baik saja.



Bagi Kousei, yang terjadi pada dirinya merupakan hukuman dari mendiang sang ibu akibat ia berkata buruk penuh amarah dengan mengatakan jika ibunya meninggal itu lebih baik dan beberapa hari setelah mengatakan hal itu, ibunya benar-benar meninggal. Menurut saya, itu bukan sepenuhnya salah Kousei. Adalah normal, Kousei yang masih berumur 11 tahun meluapkan emosi dan perasaan terpendamnya akibat bimbingan piano yang keras oleh ibunya.



Selama latihan, tak jarang Kousei mendapat bentakan maupun pukulan dari sang ibu. Tak sedikit memar di tubuh dan air mata yang mengalir dari bocah itu. Walau perasaannya hancur dan tubuh kecilnya sakit, Kousei tetap berusaha membuat ibunya bahagia dengan hasil yang Kousei dapat dari memenangkan kompetisi.



Di pikirannya saat itu, juara satu akan membuat ibunya senang, sehingga kesehatan sang ibu akan segera membaik. Dari latihan keras itu, Kousei lahir sebagai seorang pianis yang berbakat, sehingga muncul julukan “Manusia Metronom” dan “Boneka Ibunya” karena dia bermain dengan tingkat ketelitian yang tinggi sebagai hasil bimbingan instuktur yang tak lain ibunya sendiri.



Perlakuan keras Arima Saki, ibu Kousei, bukan tanpa alasan, ia menyadari bahwa kondisinya tidak memungkinkan menemani Kousei di masa depan karena penyakit yang dideritanya. Dengan latihan yang menuntut kesempurnaan itu, Saki berharap agar Kousei menjadi pianis yang sukses guna menunjang kehidupannya di masa depan. Karenanya Saki selalu memaksa Kousei untuk mengikuti partitur, jika ada kesalahan sedikit saja, ia akan langsung memukul Kousei dengan tongkat.



Dengan keras Kousei berusaha melupakan masa lalunya dengan sang ibu dan piano. Jika Kousei memainkan piano dengan tingkat fokus yang sama seperti dulu, ia kembali teringat akan buruknya masa lalu itu, sehingga suara piano pun tidak dapat terdengar seakan hilang ditelan kegelapan di dasar laut.


Dalam Your Lie in April, ketika mencoba bermain piano lagi, Kousei digambarkan merasa melihat sosok ibunya yang telah tiada sedang duduk di atas kursi roda di tempat biasa sang ibu memerhatikan permainan Kousei saat mengikuti kompetisi piano.


Poster anime "Your Lie in April" (Foto: IMDb)

Kousei merasa tertekan, mengingat ibunya akan marah jika ia melakukan kesalahan sedikit pun. Akibatnya, not balok pada kertas partitur seakan-akan menghilang dan Kousei tidak dapat mendengar permainan pianonya sendiri menyebabkan permainan piano Kousei berubah sumbang.



Kenangan-kenangan buruk dengan sang ibu dan piano itu menjadi sumber trauma Kousei. Trauma yang dialami Kousei ini dapat disebut sebagai trauma kelekatan atau trauma perkembangan yang merupakan jenis trauma yang paling melibatkan perasaan.



Trauma ini muncul ketika peristiwa ditafsirkan oleh korban akan mengancam kebutuhannya untuk menjalin kelekatan dengan orang lain. Biasanya trauma ini terjadi pada masa anak-anak. Trauma ini disebabkan oleh perlakuan salah satu dari orang-orang dekat korban. Salah satu bentuk peristiwa yang bisa menimbulkan trauma kelekatan, yaitu kekerasan fisik dan psikologis oleh orang dekat.



Trauma yang berkepanjangan dapat berkembang menjadi Post-Traumatic Stress Reaction (PTSR) atau Reaksi Stres Pasca Peristiwa Traumatik, atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Reaksi stress dan intervensi dapat dirasakan berdasarkan tingkat usia terhadap fisik, mental, emosional, dan perilaku seseorang. Reaksi pada fisik adalah gangguan yang dialami dalam fungsi tubuh.



Dalam kasus Arima Kousei, reaksi pada fisik yang terjadi berupa hilangnya kemampuan mendengar permainan pianonya sendiri, berkeringat, hingga jantung berdebar ketika ia teringat akan trauma yang dialaminya. Reaksi pada mental adalah gangguan yang terjadi lebih pada proses berpikir, di mana pada Kousei selalu teringat akan masa lalunya dengan sang ibu dan piano.



Reaksi pada emosional, yang terjadi adalah gangguan pada alam perasaan, di mana pada Kousei ia merasa takut, cemas, merasa bersalah yang membuatnya teringat oleh hal-hal kecil sehingga mengalami stress negatif, bahkan kehilangan emosi positif seperti cinta dan bahagia.



Menurut Kousei, kehidupannya bak warna tuts piano, hitam putih, berbeda dengan dua sahabatnya yang berwarna dengan kehidupan mereka. Dan yang terakhir, reaksi pada perilaku, yaitu perilaku mengelakkan situasi yang dapat mengingatkan pada masa lalu buruk itu. Kousei selalu mengelak menjadi pendamping Miyazono Kaori-orang yang pada akhirnya membuat Kousei kembali bermain piano-pada kompetisi biola yang ia ikuti.



Dari anime ini, bukan segi drama khas percintaan remaja yang menarik saja, melainkan mengenai latar belakang si tokoh utama yang kaya akan pembelajaran, terutama bagi orang tua dalam mempersiapkan anaknya di masa depan kelak.



Orang tua, terutama seorang ibu tentu ingin anak-anaknya menjadi sosok terbaik dan sukses di masa depan. Ada langkah terbaik yang bisa lakukan, tetapi, bukan dengan langkah penuh kekerasan. Karena mungkin saja, akibat kekerasan psikologis yang diberikan pada anak justru menjadikan hal yang sebaliknya bagi sang anak di masa depan.


Referensi



Fatimah Nabila Azzahro

Editor: Kedrick Azman


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar