Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Pariwisata bukan sekedar pariwisata.
Pernahkah Anda bertanya-tanya apa yang hadir dibalik semua jepretan viral postingan Instagram. Memang keindahan alam acap menjadi tangkapan gambar yang menarik untuk dipamerkan. Namun, dibalik itu semua, sadarkah kita terdapat ngarai gelap dari viral foto para wisatawan. Lantas siapakah yang menjadi korbannya?
Yogyakarta menjadi satu dari sekian daerah yang hadir sebagai ruang bagi pelancong untuk berwisata. Dari wisata budaya, alam, hingga hiburan malam turut meramaikan gelanggang industri ini. Ketika berjalan melewati Tugu Jogja hingga ujung Malioboro, hadirlah keindahan di sudut-sudut Kota Gudeg. Tak heran, keelokannya mampu menyilaukan mata turis.
Sebelum Covid-19 mewabah, setidaknya dalam rentang tiga tahun, dari 2016 hingga 2018, pengunjung wisata di Yogyakarta terus meningkat. Bahkan tembus hingga 4,1 Juta orang pada tahun 2018. Jumlah wisatawan yang terus menggeliat itu, memaksa proyek-proyek pembangunan besar lahir.
Semua kemegahan wisata di Yogyakarta tentu bukan tanpa pengorbanan. Kembali timbul dalam benak kita siapa yang paling dikorbankan? Pada akhirnya jawaban dari tulisan ini adalah: “masyarakat dan alam”. Demikianlah atas nama “pariwisata”, rintihan derita masyarakat dan kehancuran alam terselimut oleh keindahan foto Instagram para pelancong.
Konflik Agraria Buntut Kota Wisata
Atas nama “Wisata”, properti akomodatif dan komersial gencar dibangun. Hotel berbintang, mal mewah, hingga tempat hiburan malam memang menjadi aroma yang mengundang turis untuk berdatangan ke daerah yang bergelar “istimewa’’ ini.
Julukan “Kota Wisata” menjadi city branding Yogyakarta. Bagi penguasa dan pengusaha, kenaikan turisme massal dianggap bertalian dengan kesejahteraan masyarakat. Wisata masih dipercaya bisa menstimulasi sektor pembangunan lainnya, terutama transportasi, telekomunikasi, sumber daya manusia, dan pendapatan masyarakat.
Celakanya, semua tak seindah itu. Dengan langgam pembangunan yang masih eksploitatif, tak heran dalam berbagai kasus terdapat banyak resistensi dari berbagai kalangan. Salah satunya proyek Bandara New Yogyakarta International Airport, yang mencatat konflik pelik nang berujung penolakan berkepanjangan.
Kecenderungan spot wisata yang kerap memperkosa alam malah menjadi wajah dalam narasi wisata di Yogyakarta. Dalam salah satu kasus, Anda dapat menemukan sebuah pantai yang ditembok oleh pebisnis. Pantai tersebut bernama Slili yang bertempat di Gunung Kidul. Selain menghilangkan unsur kealamian pantai, hal ini juga menjadi masalah yang membuat warga sekitar harus bergeser ke kawasan lain, karena wilayah tersebut sudah diprivatisasi.
Perseteruan ruang hidup juga terjadi antara warga dan pemilik lahan proyek perhotelan di Pringgokusuman, Kota Yogyakarta. Tak jauh dari Fave Hotel Umbulharjo, terdapat sumur yang mengering akibat hisapan air tanah guna kepentingan komersial.
Dalam kasus lain, warga Parangkusumo juga menghadapi ancaman penggusuran demi proyek Parangtritis Geomaritim Science Park. Pemerintah mendapuk lahan kerja pada area Gumuk Pasir Bantul, padahal kawasan tersebut adalah areal konservasi (Apriando, 2017).
Masih belum cukup? Ada pula pembangunan resort pada kawasan wisata Kabupaten Gunung Kidul, yang hingga kini menuai banyak protes dari pegiat kelestarian lingkungan. Tentu hal ini bukan tanpa alasan, mengingat tempat proyek hiburan itu berada pada kawasan karst yang seharusnya dilindungi (Tempo.co, 2017).
Beberapa
kasus yang dijelaskan di atas hanya segelintir dari sekian banyak masalah
lingkungan yang melibatkan pariwisata. Kita masih belum membahas lebih jauh
masalah di South Mountain Paradise, Watu Kodok, Heha Skyview, Jalan Jalur
Lintas Selatan, dan masih banyak lagi. Bahkan, data dari Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) Yogyakarta menyebutkan setidaknya terdapat 40-an kasus lingkungan
hidup, mulai dari yang memiliki potensi konflik hingga sedang berkonflik.
Beberapa kasus ini tak jarang menggunakan wajah pariwisata dalam kegiatan
eksploitatifnya.
Wisata dan Lingkaran Kerusakan Sekitar
Jika kita melihat konflik lingkungan, maka kita harus melepas semua kacamata batas-batas administratif dan geografis. Karena pada akhirnya, masalah lingkungan dalam kasus pariwisata sangat mungkin bertalian dengan problem yang terkesan jauh. Pada dasarnya proyek pembangunan hotel, pusat perbelanjaan, maupun proyek pariwisata lainnya, tentu tidak dapat berjalan tanpa kesediaan suplai bahan material. Batu, semen, pasir dan besi menjadi bahan baku penting yang harus ada dalam proyek-proyek pembangunan ini.
Dari sinilah tangan-tangan perusahaan tambang hadir untuk mengeruk bahan material demi menunjang industri pariwisata. Peluang bisnis ini dimanfaatkan investor dengan mengeruk sumber daya alam yang tersedia pada beberapa titik di Yogyakarta.
Lereng merapi dan pegunungan di kawasan Gunung Kidul menjadi dua area praktik eksploitasi alam. Pertambangan pasir dan batu koral menjadi bisnis yang menggiurkan di Lereng Merapi. Selaras dengan itu, di Gunung Kidul, batuan gamping seolah menjadi tambang uang bagi pebisnis.
Produk-produk tambang tersebut menjadi kue yang diperebutkan investor dan pertambangan rakyat. Entah yang memiliki izin yang jelas maupun ilegal. Namun, ini bukan ihwal pertarungan antara investor besar dengan pertambangan rakyat. Akan tetapi, permasalahan pertambangan ini melibatkan alam yang kian dirusak dan diluluhlantahkan.
Penambangan pasir lereng Merapi membuat aliran air tidak lagi teratur karena kerusakan pada tepi sungai. Pertambangan juga menyumbang kerusakan lingkungan terberat dengan konservasi yang relatif lama pada kawasan karst di Gunung Kidul.
Beranjak ke kawasan lain, ada pula eksploitasi pasir besi pada deretan bibir laut Kulon Progo. Di mana terjadi kerusakan ekosistem Pantai Selatan Jawa. Walhasil ini bukan lagi satu dua kasus, namun masih banyak masalah yang dilahirkan tangan-tangan kejam pertambangan.
Pada akhirnya masyarakat tak tinggal diam tatkala alamnya terus mengalami degradasi yang mengusik aktivitas kehidupannya. Perseteruan pun muncul antara industri tambang dengan masyarakat sekitar.
Warga dari enam padukuhan memprotes penambangan pasir yang mengganggu Daerah Aliran Sungai (DAS) Hulu Kali Boyong, Desa Pakem, Sleman. Selain itu, masyarakat juga turut menggugat penambangan pasir yang dilaksanakan tanpa ijin operasional.
Resistensi juga muncul dari wilayah Jomboran, Sleman. Konflik ini berakar dari aktivitas tambang pasir dan batu di Sungai Progo. Masyarakat menilai proses pertambangan dapat merusak lingkungan, belum lagi perizinan perusahaan tersebut tidak transparan.
Demikianlah ujung dari konflik pembangunan ini tidak serta-merta mempertontonkan pariwisata yang lantas menyelesaikan masalah kesejahteraan. Bahkan, warga dan lingkungan sekitar justru menjadi persembahan dari relung-relung ekonomi turisme massal itu.
Entah sampai kapan perselisihan ruang hidup ini akan berhenti. Apakah ketika kekayaan alam yang kita miliki habis hingga tak ada lagi yang bisa dikeruk? Mungkin kerusakan lingkungan ini tidak terjadi di dekat kita. Akan tetapi, ini benar terjadi dan warga yang berada di titik konflik menjadi saksi akan kerusakan lingkungan, demi foto-foto para turis.
Epilog
Kerusakan tepi sungai lereng merapi hingga bukit karst Gunung Kidul menjadi wajah gamblang kalutnya pengembangan sektor pariwisata di Yogyakarta. Herannya, pemerintah masih tetap ngeyel menggencarkan program itu. Kebebalan itu tentu bukan tanpa alasan. Pertumbuhan ekonomi menjadi cita-cita yang ingin diraih dari model pembangunan tersebut. Sehingga, Yogyakarta gencar akan proyek pariwisata dengan dalih kesejahteraan sebagai tujuan akhirnya.
Pembentukan modal atau investasi dinilai menjadi kontributor utama guna meningkatkan perekonomian negara. Pandangan tersebut melahirkan keyakinan bahwa modal adalah pemain kunci dalam upaya membangun kesejahteraan. Dogma ini yang mendasari industri hulu sampai hilir terus bergeliat tanpa henti.
Padahal, pertumbuhan ekonomi tidak melihat manfaat pembangunan bagi manusia. Apa lagi indeks kebahagiaan. Entah orang akan untung atau rugi, entah orang akan sedih atau bahagia, pada akhirnya tak dilihat dari paradigma pembangunan ini. Semua capaian hanyalah angka yang membumbung tinggi.
Panutan ini juga yang membuat eksploitasi alam terus berjalan, meskipun kerusakan lingkungan kian kronis. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi tak akan berhenti, sejalan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Sedangkan, sumber daya alam sebagai penunjang permainan angka itu memiliki batas dan tidak dapat diperbaharui. Artinya, segala konflik agraria dan kerusakan lingkungan tidak akan berhenti selama model pengembangan wisata semacam ini terus dipraktekkan di Kota Jogja.
Demikianlah pariwisata memang tidak selalu hadir untuk membahagiakan. Bahkan bila kita merujuk Spanyol dan negara-negara Eropa lainnya, terdapat gelombang gerakan yang menolak turisme. Hal ini berangkat dari kontradiksi yang justru dihadapi oleh para warga lokal tatkala digempur oleh arus wisatawan.
Atas nama “wisata” yang dibumbui jargon kesejahteraan, membawa tumbal yang merusak lingkungan. Malahan, masyarakat yang diatasnamakan dalam investasi ini juga menjadi korbannya. Kontradiksi yang menghadirkan kebingungan tujuan dan subjek kebijakan, termasuk penyelesaian masalah yang memunculkan permasalahan baru.
Akan tetapi, siapa yang benar-benar peduli? Bila kita masih bisa terus berswafoto ria, tanpa peduli alam yang kian diperkosa habis-habisan.
Amiruedin Al Hibbi
Editor: Rachmad Ganta Semendawai dan Irfan Arfianto