XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Tambang Datang, Longsor di Wadas Terancam Berulang

Lokasi Sungai Wadas yang pernah tersumbat runtutan tanah longsor pada peristiwa bencana alam 1988 silam. (LPM Philosofis/Rachmad Ganta Semendawai)

Dahsyat gemuruh hujan menyerbu Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada 24 Juni 1988 malam. Hamim kecil tengah bersiap tidur di sebelah adiknya yang sudah terlelap. Mereka tengah menginap di rumah neneknya yang menggelar selamatan. Tak jauh dari situ, paman Hamim juga sedang mengadakan acara tahlilan. Setidaknya ada 20 orang yang hadir di kedua acara. Waktu menunjukkan penghujung jam delapan malam, ketika suara tahlil masih terdengar bersahutan dengan deru hujan. Hamim tak bisa menahan kantuk.

“Waktu itu saya tidur,” tutur Hamim yang kini berusia 42 tahun. Tatkala Hamim saya temui di musala Wadas, 17 Desember 2021. Dia tak menyangka, Subuh itu menjadi pengalaman traumatis yang kelak dibawanya hingga dewasa.

Duaaarrr!!!

Suara ledakan–bunyi tanah ambruk karena longsor–terdengar dari jauh. Warga yang khidmat melantunkan ayat-ayat suci dibuat terkejut. Ngatirin bersama warga yang berada di lokasi hanya bertanya-tanya, tetapi tak bergegas meninggalkan rumah tersebut. Jarak jauh dan hujan yang menggila menjadi alasannya.

Tiba-tiba, rumah yang diduduki Ngatirin kejatuhan tetesan air bocor. Sebuah tetesan yang tidak biasa. Sekelebat selanjutnya, rumah itu ambruk diserbu lumpur dari tanah longsor yang menuju ke hilir sungai.

Warga tak sempat bereaksi barang sepatah kata pun. Material rumah  berhamburan bersama seisi rumah. Ngatirin hanyut sejauh 50 meter. Dia mencoba menyelamatkan diri lewat sawah. Sayang, hempasan banjir bandang bercampur lumpur alias aliran debris itu kembali mendorongnya tak tentu arah. Gumpalan-gumpalan lumpur ikut tertelan. Hingga akhirnya Ngatirin berhasil menjamah pelepah daun kelapa dan bergelantungan dua jam lamanya.

Saya sampai luka-luka,” ucap Ngatirin (52) seraya menunjukkan letak luka pada tangan serta antara hidung dan bibirnya yang bekasnya sudah hilang.

Ngatirin (52) tengah menunjukkan bekas luka yang kian samar akibat longsor pada 1988 silam. (LPM Philosofis/Rachmad Ganta Semendawai)

Sekitar pukul 24.00, laju lumpur mereda. Ngatirin dijemput kakak kandungnya untuk pulang ke rumah. Setelah memakan banyak tanah, perut Ngatirin tidak sanggup menelan makanan hingga dua hari kemudian.

Luapan air bah bercampur lumpur itu juga disaksikan Marsono, 63 tahun. Sebelumnya, ayahnya gusar melihat lebatnya hujan di malam tragedi. Hujan tersebut sudah berlangsung sejak sore dan kian lebat kala menginjak jam delapan malam.

“Udaranya kok amis-amis. Hujannya beda, kata ayahnya malam itu sebagaimana ditirukan Marsono.

Marsono yang mengantuk tak terlalu menanggapi ucapan ayahnya. Tiba-tiba seorang kerabat mendatangi rumahnya dan mengajak pergi. Bersama dua orang lainnya, Marsono bergegas menuju ke arah Sungai Wadas ditemani penerangan seadanya. Arus listrik yang belum masuk ke Wadas ditambah hujan lebat membuat suasana serasa angker.

Dalam perjalanan, mereka bertiga ditahan aliran air riam dari sungai yang sampai ke daratan. Bersamaan dengan itu terlihat bongkahan tanah yang amat besar turut memblokade jalan mereka. Tak hanya mengisolasi jalan, tanah itu juga menahan aliran sungai sehingga berbelok mencapai daratan. Mereka terpaksa mencari jalan lain. Rasa takut dan udara dingin mengusap dada.

Demikianlah bencana berawal dari lonjakan hujan yang disertai angin kencang. Air hujan yang deras menyebabkan kandungan air dalam tanah menjadi jenuh. Terjadi gangguan keseimbangan pada lereng dataran tinggi yang berakibat tanah longsor. Bongkahan tanah dari lereng-lereng terjal menyerbu dan menyumbat aliran sungai di bawahnya. Arus sungai membuncah setelah kejatuhan bongkahan tanah. Tumpah ruah bersama lumpur membanjiri daratan. Menyapu tiga rumah, pohon, dan apapun yang dilintasinya. Begitulah kiranya kesaksian sejumlah warga.

Tujuh jiwa dan tiga rumah

Pohon bambu yang terbawa longsor hingga mencapai seberang sungai. (LPM Philosofis/Rachmad Ganta Semendawai)


Malam berganti Subuh, ketika Hamim membuka sepasang matanya. Sontak ia terkejut tatkala mendapati dirinya terbangun di bawah atap langit. Hamim baru menyadari ia terbangun di area lahan sawah.

Tubuhnya sedikit lecet dengan pakaian yang basah diguyur air. Hujan belum berhenti, meski tidak sederas semalam. Dari jauh terdengar suara teriakan meminta tolong bergantian dengan seruan “Allahu Akbar”. Hamim mencari asal suara. Ia pun melihat potongan-potongan kaca tajam dari rumah-rumah yang hancur. Tak jauh dari situ terlihat aliran lumpur yang bercampur darah.

Salah satu korban yang terhempas longsor adalah Jalal. Laki-laki berpostur tinggi besar ini dikenal sebagai orang yang kuat seantero Wadas. Para saksi melihat ia tengah berkeliling mencari anak dan istrinya. Langkahnya terseok-seok karena kaki kirinya hancur dihempas aliran debris. Dia terus berteriak memanggil istri dan anaknya tanpa peduli darah terus mengucur dari kakinya.

“Anak, bojoku, di mana?” teriak Jalal sebagaimana didengar saksi malam itu.

Dia tak kunjung menemukan tanda-tanda keberadaan anak dan istri yang tengah mengandung delapan bulan. Ketika tim evakuasi tiba, mereka menemukan Jalal tergolek lemas karena kehilangan banyak darah. Jalal menghembuskan nafas terakhir di atas tandu menuju tempat perawatan. Demikianlah diketahui istri dan anaknya juga ditemukan tewas.

Proses evakuasi dilakukan warga dibantu warga desa lain. Korban yang masih hidup segera ditandu dengan berjalan kaki menuju puskesmas terdekat. Beberapa yang tidak beruntung, menghembuskan nafas dalam perjalanan. Kala itu aksesibilitas transportasi dan jalan di Wadas tidak sebaik sekarang. Perjalanan memakan waktu lama. Belum lagi gelap malam dan derasnya hujan turut menghambat evakuasi.

“Kesana kemari bawa orang,” kisah Marsono yang menyaksikan lalu lalang tandu, sepanjang malam itu.

Longsor dan banjir bandang memakan korban tujuh jiwa dan tiga rumah. Selama seminggu sungai Wadas menjadi keruh akibat banjir lumpur.

Kini, rumah yang dahulu disapu aliran debris telah disulap menjadi hamparan sawah. Serumpun pohon bambu yang masih bertahan dari longsor, kini tumbuh kian subur dan menjadi saksi bisu tragedi malam itu.

 

Dulu Jagung, Kini Tambang

Kaca mata saya terlepas jatuh hingga tiga kali. Sandal saya copot ketika menyusuri lereng yang ambles dalam tragedi longsor 1988. Medan kawasan itu lebih curam dibanding dataran tinggi lain di Wadas. Patahan bekas longsor masih terlihat, meski sudah samar dimakan waktu.

Jauh sebelum bencana terjadi, nenek moyang warga Wadas dikenal pembudidaya aren. Dalam perkembangannya, jagung kemudian dinilai menjadi komoditas yang lebih menguntungkan. Bahkan nasi jagung menjadi makanan sehari-hari warga Wadas masa itu. Pembukaan lahan untuk perkebunan jagung pun berlangsung. Warga rela menebas pohon-pohon aren yang banyak bertumbuh di dataran tinggi untuk dijadikan lahan jagung. Selain jagung, ada pula tanaman seperti ketela pohon dan kacang-kacangan.

Tak heran, kawasan dataran tinggi Wadas waktu itu cenderung memiliki tutupan yang lebih jarang. Marsono menyebut dengan istilah gundul karena pohon-pohon perindang tak banyak tumbuh. Padahal vegetasi menjadi faktor pengontrol yang penting bagi tanah. Jika daerah tutupan suatu kawasan baik, maka lereng tersebut juga stabil dari bencana.

Dari sinilah timbul masalah baru. Dengan terjadinya alih fungsi dari lahan aren menjadi lahan perkebunan jagung, kawasan tersebut harus menata ulang aliran air. Apabila tidak ditata, maka akan mengganggu stabilitas lereng akibat tanah yang jenuh. Bahkan satu-satunya keluarga yang mendiami dataran tinggi itu memilih pindah rumah setelah melihat ada retakkan tanah di pekarangannya.

Tak ada yang menyangka, 24 tahun kemudian tanah di kawasan itu mengalami longsor hingga menyumbat aliran sungai. Tak ada yang menduga bencana itu menghilangkan nyawa tujuh orang warga. Pemerintah daerah setempat menduga longsor terjadi karena lahan bagian atas yang gundul.

Tak ingin terus dirundung trauma, warga Wadas berinisiatif mengganti pola vegetasi. Perkebunan jagung mulai ditinggalkan. Tanaman seperti bambu ampel, pohon mlanding, jati lanang dan lain-lain, dipilih menjadi penguat lereng. Pohon-pohon bertumbuh menutupi hampir seluruh areal di atas kaki bukit. Warga memilih pola pertanian multikultural yang sesuai dengan struktur morfologi tanahnya. Usai 1988, longsor besar tak pernah lagi terjadi di Wadas.

“Orang yang baik adalah orang yang belajar dari pengalaman,” kata pakar Manajemen Bencana Geologi Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, Nandra Nugroho kala dihubungi via telepon 6 Desember 2021.

Menurut Nandra pemahaman dan kesadaran warga Wadas terhadap persoalan lingkungan sudah amat baik. Warga menanam jenis tanaman endemik Wadas yang relatif cocok dengan morfologi di sana.

“Kejadian itu (longsor) menjadi pembelajaran. Dengan local wisdom-nya, mereka beradaptasi dengan alam. Saya percaya itu,” tutur Nandra.

Pasca-kejadian longsor, warga kembali mencangkul, menanam, dan memanen. Namun rencana penambangan kuari batuan andesit di Wadas untuk membangun Bendungan Bener di Desa Guntur, Kecamatan Bener mengancam aktivitas bertani mereka. Bendungan yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Wadas diperkirakan membutuhkan material kuari dari 114 hektare lahan Wadas. Proyek bendungan itu di bawah prakarsa Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWSSO) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan merupakan proyek strategis nasional (PSN).

Muncul penolakan tambang dari warga Wadas. Memori masa lalu akan tragedi longsor menjadi salah satu alasan penolakan.

“Misal tebingnya ditambang 75 meter, lebih bahaya lagi. Kanan kiri desa bisa hancur. Bahaya sekali. Ini persoalan keselamatan warga juga,” kata Marsono mewanti-wanti.

Saksi mata longsor 1988 ini takut aliran air akan rusak dan menyebabkan bencana yang lebih besar dan mencekam dari sebelumnya.

“Alam itu kalau diganggu manusia akan membalas juga,” ucap Marsono dengan mata bak bara yang berpijar, seraya mengapit rokok di jari-jarinya.

 

Kawasan rawan longsor

Sisa-sisa patahan longsor yang kian samar dimakan waktu. (LPM Philosofis/Rachmad Ganta Semendawai)


Bukit Menoreh yang didiami Wadas merupakan bekas pegunungan api yang sudah tua. Bukit ini dikontrol struktur geologi yang jauh lebih kompleks. Wajar apabila wilayah sekitar Menoreh memiliki tingkat rawan longsor yang tinggi.

“Pasti semua tahu pegunungan Menoreh rawan longsor,” tutur Nandra tanpa keraguan.

Local wisdom atau kearifan lokal yang dimiliki warga Wadas sudah menata jalan mitigasi untuk menangani longsor. Namun, yang terjadi selanjutnya akan berbeda apabila terjadi alih fungsi lahan untuk pertambangan. Mengingat kawasan tersebut memiliki morfologi yang tidak boleh diubah, apa lagi ditambang. Pembersihan lahan akibat konsekuensi logis pembangunan tambang akan memicu potensi bencana yang lebih buruk. 

Tidak ada pemicu atau alih fungsi lahan pun sudah rawan longsor. Apa lagi kalo ditambang, pasti akan terjadi longsor,” tegas Nandra.

Sebagai kawasan hulu, Wadas memiliki peran penting untuk menjadi zona resapan. Jika zona tersebut diganggu penambangan, maka bencana ekologi lain akan terjadi. Seperti hilangnya fungsi ruang tangkapan air yang menyebabkan matinya sumber-sumber air. Pada akhirnya debit air akan berkurang dan Purworejo akan menjadi kawasan paling terdampak krisis pasokan air bersih.

Persoalan lainnya, jika drainase Purworejo tidak siap menampung, maka akan terjadi bencana banjir tatkala hujan. Begitu pula kekeringan akan menghantui ketika musim kemarau. Dengan demikian, menurut Nandra, Wadas memiliki posisi penting dalam menata kestabilan ekologi di sekitarnya. Dia menganggap serangkaian penolakan atas proyek tambang oleh warga Wadas sangat beralasan.

Meski pola kehidupan warga Wadas membantu kestabilan ekologi dari bencana alam. Namun, menurut Nandra, upaya tersebut bukan hanya tugas warga Wadas semata.

Negara juga harus mengambil peran, bukan malah memperburuk keadaan. Proyek pertambangan ini mimpi buruk,” kata Nandra.

Begitu pun yang dirasakan warga Wadas. Sejumlah saksi mata dan penyintas bencana longsor 1988 berulang kali menyebut istilah medeni yang berarti menakutkan. Sebagai satu kata yang menggambarkan kengerian tragedi masa itu. 

Tak terkecuali Ngatirin yang tampak lebih emosional ketika mengisahkan ulang trauma masa lalunya. Amarahnya makin menjadi-jadi kala disinggung ihwal rencana tambang kuari di desanya.

Saya siap mati untuk melawan (tambang), karena alam lebih serem kalo diganggu. Saya takut sama longsor, (tapi) kalau sama polisi gak takut. Karena saya membela kebenaran,” ucap Ngatirin tegas. 


Tulisan ini merupakan hasil workshop dan fellowship “Building Citizen Awarness on the Growing Agrarian Conflict in Yogyakarta and Its Adjacent Region” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dari 8 November sampai 19 Desember 2021.



Rachmad Ganta Semendawai

Reporter: Rachmad Ganta Semendawai


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar