XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Antraks: Merugikan Peternak dan Mengancam Kesehatan Masyarakat Gunungkidul

Ilustrasi: Farras Pradana

Di tengah tingginya kasus Covid-19 pada bulan Februari 2022 lalu, Gunungkidul, salah satu kabupaten yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), harus menanggung kekhawatiran dua kali lipat akibat kedatangan antraks. Tepatnya pada bulan Desember 2021, antraks mulai muncul. Kasus ini bukan yang pertama kali terjadi di Gunungkidul. Antraks pernah muncul dan kini datang kembali.

Penyakit antraks merupakan salah satu jenis penyakit dari 11 jenis penyakit hewan menular strategis. Antraks dapat menimbulkan gangguan nilai ekonomi dan juga eksternalitas tinggi atau berpotensi mengancam kesehatan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 406/Ltsp./OT.140/3/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis. 

Mengutip Petunjuk Teknis Pencegahan dan Pengendalian Antraks, yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Tahun 2017, antraks tergolong penyakit zoonosa yang disebabkan oleh kuman bacillus anthracis, yang bersifat akut dan bisa menyebabkan kematian. Bacillius anthracis ialah agen penyebab penyakit zoonis antraks yang bisa melalui pencernaan, pernapasan, dan kulit manusia. Umumnya penyakit ini ditemukan di daerah peternakan kambing, domba, dan sapi. 

Seperti halnya di Gunungkidul, banyak terdapat peternakan sapi dan kambing yang juga mengalami kenaikan di setiap tahunnya. Gunungkidul tergolong salah satu kabupaten dengan jumlah hewan ternak kambing dan sapi tertinggi di DIY. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS) di Kabupaten Gunungkidul terdapat 152.666 ekor sapi di tahun 2018, 153.369 di tahun 2019 dan 154.432 ekor sapi di tahun 2020.

Sementara data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DIY, jumlah kambing di tahun 2018 sebanyak 185.879 ekor, 188.160 ekor di tahun 2019 dan 201.026 ekor di tahun 2020. Sama halnya dengan hewan sapi, hewan kambing mengalami peningkatan di setiap tahunnya bahkan terjadi peningkatan jumlah kambing secara signifikan di tahun 2020.  

Berdasarkan data BPS di atas, tingginya angka jumlah sapi dan kambing mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul rentan terserang penyakit antraks. Munculnya penyakit antraks ini begitu terasa akan dampak yang ditimbulkannya. Banyak hewan ternak di Gunungkidul yang direnggut nyawanya terutama hewan kambing dan sapi, yang kemudian menyebabkan kerugian terhadap para peternak. Kesehatan masyarakat juga terancam, ada banyak masyarakat yang tertular. Hal itu kemudian ditambah dengan pandemi Covid-19 yang belum usai. Akibatnya muncul kecemasan dan keresahan di kalangan masyarakat.


Antraks Merugikan Peternak Gunungkidul

Di Gunungkidul, antraks ditemukan di dua kecamatan, yakni Kecamatan Ponjong dan Gedangsari. Kehadiran antraks di dua kecamatan itu muncul pada 31 Januari 2022 dengan kematian beberapa hewan ternak sapi dan kambing. Menurut hasil investigasi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Gunungkidul, total kematian hewan ada 11 ekor sapi dan empat kambing. 

Secara lebih rinci, dari kematian 11 sapi dan empat kambing ternak, sebanyak lima ekor sapi dan dua ekor kambing di Kecamatan Ponjong. Kemudian di Kecamatan Gedangsari sendiri terdapat enam ekor sapi dan dua ekor kambing. Kedua kecamatan tersebut merupakan lokasi endemik yang merupakan daerah kemunculan adanya kasus antraks. 

Kematian hewan sapi dan kambing tersebut berdampak pada kerugian secara materiil terhadap para peternak. Menurut OIE (Office International des Epizooties), penyakit antraks masuk dalam kategori penyakit penting terkait importasi dalam perdagangan internasional. Selain menimbulkan kerugian ekonomi dan kematian pada hewan ternak, tekanan emosional juga muncul, terutama di kalangan penduduk yang mata pencahariannya bergantung pada pertanian pastoral (Abawi, I. & Fibriana, A.I, 2019)

Dampak lainnya tidak hanya dirasakan oleh para peternak yang hewannya terjangkit penyakit antraks, namun juga kepada seluruh peternak Gunungkidul. Para peternak merasakan adanya penurunan penjualan ternak di pasar hewan, meskipun dalam penurunannya tidak terlihat secara signifikan. 

Selain itu, dengan kembali hadirnya penyakit antraks, tidak sedikit warga yang mengurangi konsumsi daging, terutama daging sapi dan kambing. Dengan begitu, pedagang daging sapi dan kambing mengalami penurunan permintaan konsumen. Hal ini misalnya dibenarkan oleh Sutiyem, pemilik tempat pemotongan hewan (TPH). Ia menyatakan bahwa, pelanggan paling banyak ialah pedagang bakso, dan permintaan mereka menurun sejak munculnya kasus antraks.


Masyarakat Khawatir, Kesehatan Mereka Terancam

Tidak hanya menyerang dan menular hewan mamalia, antraks juga bisa menular kepada manusia. Penularan antraks terbagi menjadi tiga kategori sesuai dengan lokasi masuknya bacilllius anthracis ke dalam tubuh manusia.

Pertama, kulit; kedua, saluran napas; dan ketiga, sistem pencernaan. Dari ketiga kategori itu, bentuk yang paling menyerang pada manusia adalah antraks kulit, dengan tingkat kejadian 95%. Seseorang bisa menderita antraks melalui kulit setelah spora masuk ke dalam kulit yang terbuka karena luka. Menurut WHO (World Health Organization) masa inkubasi pada manusia yang terpapar antraks sekitar beberapa jam hingga tiga minggu, tetapi sering terjadi berkisar dua sampai enam hari saja.

Ciri-ciri seseorang yang terkontaminasi antraks biasanya memperlihatkan terjadinya lesi pada kulit di bagian lengan dan tangan kemudian diikuti wajah dan leher. Lesi pada kulit itu didahului kemunculan papula, persis seperti gigitan serangga. Selanjutnya papula membesar selama satu hingga dua hari dan menjadi luka yang mungkin dikelilingi oleh velikel.

Setelah itu muncul lesi berbetuk bulat dan teratur yang memiliki ukuran diameter kurang lebih 1-2 cm. Lalu akhirnya, produksi racun oleh bakteri mengakibatkan luka berkembang menjadi echar hitam dan dengan adanya edema. Lesi dan edema tidak mengakibatkan rasa sakit. Lesi tersebut akan mengeri setelah satu sampai dua minggu dan echar akan mulai mengendur.

Sesuai dengan data tingkat kejadian penularan antraks yang telah disebutkan, di Gunungkidul, antraks menyerang masyarakat melalui kulit. Pertanggal 8 Februari terdapat 26 warga Gunungkidul yang terkena gejala antraks. Gejala nampak yang dialami ialah kulit melepuh. Dari 26 warga tersebut, sebanyak 12 warga positif sementara yang lainnya dinyatakan negatif. Warga yang positif antraks berasal dari Kecamatan Ponjong dan Kecamatan Gedangsari. Adanya kasus ini menjadikan warga Gunungkidul geger.

Sudah seharusnya warga mendapatkan sosialisasi dari pemerintah terkait agar ke depannya warga bisa lebih berpengetahuan dan berhati-hati mengenai tanda-tanda hewan yang terinfeksi antraks agar mereka tidak tertular. Selain itu dengan penanganan yang cepat kerugian pun akan semakin minim agar tidak menular hewan lainnya.

Sosialisasi mengenai penanganan dini terhadap penderita antraks kulit juga diperlukan yang dilakukan dengan diagnosis sedini mungkin. Diagnosis antraks yakni dengan deskripsi klinis dan melihat epidemiologis dengan kasus ataupun diduga kasus hewan maupun produk hewani yang terkontaminasi.


======

Tulisan ini merupakan tugas akhir magang LPM Philosofis 2022.

Aisya Puja Ray

Editor: Farras Pradana


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar