XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Kita Semua Membunuh “Maaf”

 

Ilustrasi: Galih Setiawan
Entahlah! Beberapa masalah yang saya lewati akhir-akhir ini, membuat saya mempertanyakan ulang makna dari kata “maaf”. 

Tanpa sakralitas, Anda bisa mengucap maaf seringan menguap. Bagi saya dari sinilah masalah dimulai. Pertemuan kita dengan “maaf” yang hadir, kini ia beralih sebagai bahasa kemunafikan.

Berapa kali dalam hidup ini kita mengucap maaf tanpa penyesalan dan rasa bersalah yang tulus? Atau pernahkah kita menghitung ulang berapa momen dalam hidup ini, kala kita memaafkan orang, dengan hati yang sebenarnya enggan memaafkan.

Lebih mudahnya begini. Bisakah Anda menilik pesan maaf yang Anda dapatkan beberapa hari terakhir? Tentu tak sulit untuk membedakan ucapan “maaf” yang kering dan penuh formalitas. Sehingga Anda tanpa feel, membalas pesan itu seadanya. Bak pesan tanya-jawab. Itulah maaf yang lahir dari rahim kepalsuan, selalu tak sulit untuk dilupakan.

Celakanya kita sudah biasa hidup dalam masyarakat yang penuh dengan kepalsuan. Sampai pada akhirnya, saat ini ihwal maaf, bukan lagi menjadi masalah yang besar. Sejak kecil kita diajarkan maaf, bahkan di momen saat kita tidak merasa bersalah sama sekali.

Seperti saat kita berkelahi, misalnya, dan orang dewasa memaksa kita untuk meminta maaf satu sama lain. Pada titik tertentu ini adalah pola didikan yang mendorong kita untuk mencoba rendah hati. Namun ada yang hilang dalam ucapan maaf itu. Yakni ketulusan.

Well, memang apa sih yang tulus di dunia yang laknat ini? Toh semakin dewasa kita, semakin banyak orang yang kita benci. Tetapi, untuk beberapa pertimbangan kita harus berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja.

Sesederhana berapa banyak kepalsuan yang Anda sajikan kepada boss, dosen/guru, rekan kerja/organisasi, teman, bahkan dalam taraf paling privat, kepada keluarga Anda.

Tapi inilah kenyataan, inilah konsekuensi bermasyarakat. Bermasyarakat berarti beradaptasi bahkan untuk sesuatu yang kita kutuk. Bermasyarakat berarti mengucap "iya" saat kita ingin mengucap "tidak". Bermasyarakat berarti memaafkan saat hati Anda enggan memaafkan.

Ini mungkin harga agar dapat diterima dalam tatanan sosial yang selalu memiliki sisi pahit. Dan mungkin kita adalah korbannya. Saya sendiri merasakannya. Apakah pembaca mengalami hal yang sama? Karena tulisan ini diilhami oleh pengalaman pribadi.

Orang yang benar-benar mengenal saya, biasanya tahu saya tak sulit untuk meminta maaf. Tentu ini bukan perkara kerendahan hati. Persoalan ini lebih karena saya dihantui oleh banyak rasa bersalah yang akut. Saya selalu percaya bahwa saya sudah menyakiti banyak orang. Setiap hari saya selalu dihantui oleh itu.

Tetapi, di sisi lain saya bukanlah orang yang mudah memaafkan. “Saya ringan untuk meminta maaf, namun tidak mudah memaafkan”. Apakah itu terdengar buruk? Ya, memang buruk. Tapi ini bukan berangkat dari rasa dendam.

Ini adalah cara saya untuk tidak melupakan apa yang telah terjadi. Karena saya selalu takut apabila tragedi yang sudah pernah saya lewati tidak menjadi pembelajaran bagi saya sendiri. Bagi saya ini demi kebaikan saya dan mungkin pelaku terkait.

Kira-kira dalam beberapa kasus hati saya berkata seperti ini: “Tanpa dendam. Saya tidak memaafkanmu, tapi saya ikhlaskan bahwa tragedi itu sudah terjadi.”. Terdengar rumit bukan? Hahaha. Memang begitulah cara berfikir spesies yang dijuluki manusia. Berbelit dan acap disetir oleh emosi.

Pada akhirnya tidak semua masalah pantas dan harus dimaafkan. Toh berapa banyak orang yang meminta maaf di pengadilan atau ruang publik. Dan berapa banyak dari mereka yang benar-benar menyesali tindakannya?

Saya selalu percaya apa yang dimaksud dengan mitologi monster, adalah sesuatu yang lebih dari cakar, taring, dan mata yang menyalang. Monster sejatinya adalah manifestasi pikiran dan tindakan manusia yang tak termaafkan.

Meskipun demikian, pada akhirnya saya juga korban dari tuntutan sosial “masyarakat pemaaf”. Obsesi masyarakat yang menginginkan setiap orang menjadi pribadi pemaaf, pada titik tertentu bermutasi menjadi “masyarakat munafik”.

Sudah tak terhitung saya membalas permintaan maaf, seolah saya benar-benar memaafkan. “Santai”, ucap saya, di momen saat lidah menipu orang tersebut dan mungkin menipu diri saya sendiri.  

Saya harap pembaca tidak keliru yang saya maksud di tulisan ini. Bukan berarti saya membenci kalimat “maaf”, nan saya benci adalah “maaf yang kehilangan kejujurannya”. Karena di momen itu kalimat maaf akan kehilangan arti. Padahal selalu ada kekuatan dibalik kata yang berisi kejujuran

Saya kaitkan ini dengan nilai yang disebut legowo. Legowo memang merupakan nilai yang penting dalam masyarakat Jawa. Dan pada taraf tertentu saya mengaguminya. Tapi, bukan berarti nilai ini tidak pernah memakan korban. Dalam sejarahnya, legowo menyumbang dampak terhadap praktek penindasan kolonial

Tak hanya manusia, bahkan institusi imajiner seperti negara juga didesak untuk meminta maaf atas dosa yang pernah dilakukannya. Seperti dalam kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di masa lalu, demi tercapainya rekonsiliasi. Demikianlah maaf, selalu memiliki pendekatan yang politis dalam sejarah umat manusia.

Oleh karenanya,  maaf bukan lagi sekedar soal ucapan, filsuf sekaliber Derrida bahkan membedah konsep “forgiveness”. Salah satu yang menarik bagi saya, ia pernah mengatakan bahwa level tertinggi dari maaf adalah “memaafkan apa yang (sebenarnya) tak bisa termaafkan”.

Literatur seperti Inside The Third Reich, memoir Albert Speer bisa menjadi contoh bagaimana “maaf“ memiliki makna kontrol yang amat politis. Albert pernah dipuja sebagai anggota Nazi yang mengakui kesalahannya. Dengan buku tersebut ia membangun citra penyesalan dan membangun image postif.

Tak seperti rekannya, ia selamat dari eksekusi mati pengadilan dengan menunjukkan rasa bersalahnya dan seolah dirinya tidak terlibat Holocaust. Ia pernah mengatakan permintaan maafnya tidak akan menebus masa lalunya. Kalimat itu tentu saja merupakan upayanya untuk membangun citra penyesalan.

Namun, akhirnya mitos Speer terbongkar oleh Matthias Schmidt. Citra yang ia bangun selama ini hancur setelah ditemukan dokumen keterlibatannya dalam Holocaust. Pada akhirnya semua ponokohan yang ia bangun semata-mata hanya untuk menjaga keselamatannya.

Selain Matthias, Nicholas Tavuchis juga pernah mengulas sosok Speer. Bagi Nicholas meminta maaf harusnya tidak memiliki alasan, pembelaan, pembenaran, atau penjelasan atas kesalahannya terhadap orang lain. Baginya, Speer tidak pernah meminta maaf.

Sebenarnya cukup panjang apabila kita membahas diskursus apology theory. Dan saya tidak ingin membahas itu lebih jauh. Karena saya di sini hanya ingin bercerita pada sidang pembaca. Saya harap tulisan ini didengarkan. Karena saya takut kita semua adalah Albert Speer

Poinnya di sini ialah saya ingin mengatakan jangan pernah meremehkan “maaf” untuk formalitas atau konten! Karena dalam setiap agama, maaf selalu memiliki nilai kesucian tertentu. Sehingga saya ingin bilang: Saya sudah muak dengan permintaan maaf yang kering dan bersifat formalitas, tanpa memiliki nilai reflektif.

Karena saya menemukan banyak orang yang meminta maaf, dan dengan ringan mengulangi kesalahan yang sama. Bagi saya permintaan maaf terbaik adalah bukan apa yang dikatakan, melainkan apa yang selanjutnya akan dilakukan. Do not be sorry, be better.

Sebagai umat yang memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) beragama Islam, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan ucapan: Selamat Hari Raya Idul Fitri untuk semuanya. Saya berdoa dan saya bermimpi, kita hidup dalam masyarakat yang menghargai arti “maaf”. Dan tidak pernah membunuh “maaf” lagi.
========
Opini adalah gagasan pribadi penulis
LPM Philosofis menerima tulisan berbentuk opini dari siapa saja yang ingin tulisannya dipublikasikan di Philosofisonline.id. Opini dapat dikirim ke sangpemulaphilosofis@gmail.com dalam format docx/doc dengan panjang tulisan antara 800-3000 kata.

Rachmad Ganta Semendawai
Editor: Aisya Puja Ray
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar