XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Fenomena Thrifting dan Segudang Kisah di Baliknya

Ilustrasi: Nedyna Fajri A.N.A

Saat ini, kita telah familiar mendengar kata thrift shopping atau belanja pakaian bekas. Bahkan, di kalangan anak muda, hal ini telah menjadi “norma” baru bagi mereka. Sulit untuk mengetahui dasarnya. Namun, segudang manfaat dari praktik ini dapat menjadi alasan mengapa thrift shopping menjadi tren baru masa kini. Jenis perburuan barang murah ini telah menjadi kebiasaan baru bagi orang-orang yang menyukai tampilan berbeda. Pakaian unik dapat dibeli dengan harga yang lebih murah di awul-awul. Hal inilah yang mengubah pandangan thrift shop dari dianggap “buruk” menjadi permata, terutama bagi kalangan pecinta fesyen. Namun, bagaimana kultur thrifting ini terbentuk dan bagaimana para pelakunya bergelut dengan  dunia thrift shopping?


Sejarah Tren Thrifting
Menilik lebih jauh, kegiatan thrifting sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Sejarah ini telah tercipta pada masa yang cukup lampau. Awal mula kemunculan ini ditandai dengan kemajuan peradaban manusia. Saat itu, Revolusi Industri pada abad ke-19 telah menciptakan  teknologi produksi pakaian massal. Pakaian menjadi produk yang lebih terjangkau bagi semua kalangan. Cara pandang masyarakat kian berubah terhadap dunia fesyen. Pakaian bukan lagi menjadi barang reuseable (dapat digunakan kembali), tetapi barang disposable (sekali pakai, buang). Akibatnya, masyarakat menjadi sangat konsumtif dan rakus. Limbah pakaian bekas menjadi tak terhindarkan.

Ironi melihat hal tersebut, Salvation Army, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Amerika Serikat, pada tahun 1897 melahirkan sebuah shelter dengan nama “Salvage Brigade”. Tempat itu menjadi wadah bagi donatur yang ingin menyumbangkan barang, terlebih bila tidak terpakai lagi. Barang-barang inilah yang diberikan untuk warga dengan ekonomi sulit. Pakaian bekas tak luput menjadi barang donasi kala itu. Demikianlah, Krisis Malaise turut memukul perekonomian Amerika Serikat. Depresi Besar (Great Depression) yang terjadi pada tahun 1920-an menjadikan banyak orang jatuh miskin. Sampai-sampai, masyarakat di masa itu tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang mereka. Akhirnya, berbelanja pakaian bekas di thrift shop menjadi pilihan alternatif.

Seiring dengan berjalannya waktu, berbelanja ala thrifting bukan lagi dilekatkan akibat rendahnya kemampuan finansial. Akan tetapi, berbelanja pakaian bekas telah menjadi gaya hidup baru di masyarakat. Kita perlu berterima kasih pada Kurt Cobain. Mengingat pada tahun 1990-an, penyanyi yang berasal dari band Nirvana ini turut memopulerkan gaya busana baru dengan memanfaatkan pakaian bekas. Secara tidak langsung, hal itu telah mengenalkan “thrifting style” kepada khalayak umum dan mengorbitkan tren anyar dalam hal berpakaian.


Tren Thrifting di Indonesia
Munculnya thrifting di Indonesia bukan hanya terjadi belakangan ini. Memang tidak ada sumber pasti yang mampu menyebutkan kapan tren ini dimulai. Wartawan Philosofis mencoba melakukan penelusuran melalui wawancara daring pada Kamis, 17 Juli 2021 dengan salah satu akademisi tata busana, Afif Ghurub Lestari (50). Beliau merupakan salah satu saksi hidup dan juga pemerhati fesyen sejak dahulu.

Menurut Ghurub, pada masa pasca-krisis moneter, sekitar tahun 1999, muncul tren awul-awul (barang bekas) sebagai siasat golongan menengah ke bawah untuk menikmati produk fesyen pada masanya. Tren itu dibentuk oleh masyarakat yang ingin memiliki penampilan yang berbeda dengan bujet rendah. Beberapa figur publik turut memeriahkan tren ini sehingga kian populer.

Gaya pakaian baru ini ternyata mulai goyah ketika isu-isu miring menyertai perkembangannya. Mayoritas barang yang dijual merupakan barang bekas yang tidak tertata dan kebersihannya juga belum terjamin. Begitu pula dengan stok input barang yang entah dari mana asal muasalnya. Berikut hari, muncullah keraguan dari masyarakat atas tren tersebut. Hal ini diperparah dengan adanya krisis moneter dan testimoni negatif dari para pembeli barang awul-awul. Tak heran, mengingat stok barang yang datang tidak sedikit, sehingga sulit untuk disortir terlebih dahulu. Akhirnya tren awul-awul mulai surut.

Setelah perekonomian mulai membaik, bersamaan dengan kehadiran mahasiswa pendatang ke Jogja. Pada saat yang sama hadirlah istilah “garage sale/cuci gudang”. Demikianlah gelora konsumerisme menggeliat di masyarakat.

Perburuan pakaian tidak terpakai dan menumpuk menjadi ramai di kalangan masyarakat. Terutama di antara kalangan anak muda. Seolah beberapa dari mereka memiliki hasrat ingin tampil “beda” dari orang lain. Sosial media juga turut berpartisipasi dalam pembentukan citra tren ini. Thrifting lebih dipandang sebagai sarana berekspresi, bagi individu yang memiliki jiwa bereksperimen tinggi untuk membentuk gaya fesyen mereka sendiri.

Sensasi Lain yang Didapat dari Thrifting
Ilham Razaq (19) mengenal tren thrifting ini kurang lebih dua tahun lalu atau sekitar 2018. Gudang informasi yang diperolehnya berawal dari toko daring. Ketertarikannya itulah yang membawa dirinya untuk menjajal membeli beberapa potong pakaian bekas. Pengalaman positif yang didapat menjadikan dirinya saat ini sebagai konsumen tetap thrifting. Setidaknya, ia berbelanja barang thrifting minimal dua bulan sekali untuk memenuhi kebutuhan sandangnya.

Jenis pakaian yang dibelinya pun sangat beragam. Mulai dari jaket, baju, sweater, crewneck, dan outer lainnya. Media sosial yang menyediakan platform jual beli, seperti Instagram dan Facebook, menjadi pilihan untuk memenuhi hasrat belanjanya. Ilham sendiri memang belum pernah mengalami pil pahit ketika berbelanja daring. Tapi, pengalaman teman-temannya dijadikan sebagai pelajaran berharga baginya agar tidak jatuh ke dalam lubang tersebut. Ia mengakalinya dengan menggunakan perantara, seperti olshop atau marketplace terpercaya, supaya kegiatan berbelanjanya menjadi lebih aman dan nyaman.

Thrifting lebih disukainya karena ada sesuatu yang tidak ia dapatkan ketika berbelanja pakaian baru. Ada kepuasan pribadi ketika tampil keren dengan barang murah daripada tampil keren dengan barang yang jelas mahal. Seringkali dijumpai pula barang thrifting yang unik dan tidak ditemukan di tempat lainnya. Baju thrifting juga sulit ditemui kembaran karena second hand (bekas), sehingga menarik bagi kalangan yang tidak terpaku pada tren masa kini seperti dirinya. Sepotong pakaian yang digunakannya bisa dijadikan sebagai ajang pertunjukan identitas diri masing-masing.

Tak hanya itu, thrifting juga menyadarkan Ilham akan ancaman lingkungan. Membeli pakaian bekas menjadikannya turut berkontribusi dalam mengatasi permasalahan limbah pakaian. Ia setuju kalau membeli barang thrifting membawa dampak positif bagi lingkungan. “Membeli barang thrifting dapat membantu go green, karena membeli dan memakai limbah yang dapat dipakai kembali,” ucap Ilham saat diwawancarai pada Juli 2021. Tanpa disadari, berbelanja pakaian bekas mampu membawa efek positif bagi lingkungan. Sehingga, menurutnya tren ini baik untuk diikuti.

Meraup Pundi-Pundi dari Barang Tidak Terpakai
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia di awal tahun 2020 tak menyulutkan jiwa berwirausaha Aldino Julian. Pria berusia 19 tahun tersebut berjualan lewat instagram dengan nama akun @hasilberburu. Berawal dari kesukaannya membeli barang bekas, ia lalu berinisiatif untuk membuka usaha dari hobinya itu. Kondisi ekonomi yang sedang sulit pula menjadi dorongan lebih baginya untuk mencari pemasukan dari sumber lain.

Aldino menceritakan pengalamannya kepada wartawan Philosofis pada Juli 2021. Ia biasanya memperoleh stok barang dagangan melalui offline dan online. Sebuah komunitas grup daring menjadi sumber barangnya, selain terjun langsung ke pasar untuk ngawul. Pakaian yang dijual umumnya berupa jaket, crewneck, hoodie, dan outer lain. Dia lebih mengutamakan merek luar negeri, seperti Nike, Adidas, Kappa, dan lain-lain. Hal itu dipilih karena memenuhi kebutuhan konsumennya. Mayoritas pembeli memang mencari pakaian brand terkenal dengan harga miring sehingga barang thrifting lah yang menjadi sasarannya.

Omset yang didapatkan juga cukup lumayan. Ia mengambil profit tergantung dari kondisi dan merek barang yang dijualnya. Keuntungannya pun beragam, mulai dari 20%, 50%, hingga 100% secara persentase untuk per produk. Tidak disebutkan secara gamblang oleh Aldino, tetapi ia merasa sudah sangat cukup baginya untuk menambah uang saku pribadi sebagai mahasiswa.

Tantangan yang Dihadapi Penjual
Bisnis barang thrifting ini pun tak bisa dikatakan mudah. Banyak tantangan yang dihadapi. Terutama saat mencari stok barang yang ingin Aldino jual. Proses awal saat bongkar ball biasanya menjadi kendala. Kondisi barang yang ia peroleh terkadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tentunya, ada siasat sendiri yang digunakan oleh para penjual untuk mengatasi hal tersebut.

Aldino, bakul pakaian bekas @hasilberburu, lebih mengutamakan kualitas barang yang ia jual demi kepuasan pelanggan. “Kalau di @hasilberburu itu kami utamakan barang-barang yang masih layak dipakai masih bagus,” ujarnya. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan pula terdapat barang bekas yang kurang bagus, seperti noda-noda, atau ada beberapa lubang kecil. Menurut Aldino, hal itu sudah dimaklumi di dalam dunia per-thrifting-an.

Siasat berbeda diterapkan oleh Agus, tapi lebih dikenal sebagai Pakdhe Chemany. Toko miliknya yang bernama @chemany.store itu lah yang membentuk nama panggilan itu. Agus ketika dijumpai di gerainya oleh wartawan Philosofis pada Kamis, 29 Juli 2021 mengisahkan bahwa dirinya telah menjadi pedagang pakaian bekas sejak tahun 2018. Bisnis yang telah berjalan selama tiga tahun itu telah menjadikannya paham terkait kendala dalam dunia thrifting. Pakde Chemany membuat segmentasi pasar sendiri bagi pelanggannya. Klasifikasi pelanggan tersebut dibuat berdasarkan kualitas pakaian yang dimilikinya. Kondisi barang menentukan harga yang ditetapkan dan juga kemampuan dari pembelinya. Oleh karena itu, ada grade/kelas sendiri yang diciptakan olehnya.

Benturan lain yang dihadapi dalam dunia thrifting ini rupanya tidak hanya masalah kondisi barang. Isu kesehatan digunakan untuk menjatuhkan tren ini. Banyak anggapan bahwa barang thrifting tidak baik untuk kesehatan. Bahkan, perihal tersebut diatur pada UU Perdagangan, pelaku usaha dapat dikenakan Pasal 35 ayat (1) huruf d, Pasal 36, dan Pasal 47 ayat (1),  menyebutkan pemerintah menetapkan larangan perdagangan pakaian bekas impor untuk kepentingan nasional dengan alasan melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup. Sehingga setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru.

Hal itu ditepis oleh Pakdhe Chemany, ia mengaku kalau sudah sejak lama menggunakan pakaian bekas, tetapi dia merasa baik-baik saja sampai sekarang. Menurutnya, itu hanya upaya dari pemerintah agar orang tidak membeli barang impor semata-mata, bukan murni masalah kesehatan. Penanganan pakaian yang baik nyatanya mampu menjadikan pakaian bekas menjadi tetap layak pakai dan terhindar dari penyakit menular.

Selain itu, barang thrifting juga dianggap sebagai perusak brand lokal. Orang cenderung memilih untuk membeli pakaian impor bekas ketimbang brand lokal. Sebab, produk impor tersebut bisa dijual dengan harga yang serupa dengan produk IKM (Industri Kecil Menengah) atau bahkan lebih rendah. Pemerintah pula turut mengupayakan pencegahan impor baju bekas melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Impor pakaian bekas dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.

Perihal tersebut, Pakdhe Chemany berpendapat bahwa thrifting dijadikan sebagai kambing hitam akibat berubahnya selera masyarakat. Faktor-faktor lain yang menjadikan thrifting menarik banyak orang tidak diperhitungkan. Padahal, menurutnya setiap pakaian memiliki segmentasi pasar tersendiri. Tentu hal itu tidak dapat dikesampingkan, karena hal itu secara alamiah terbentuk oleh pasar. Melemahnya daya beli masyarakat terhadap brand lokal menjadikan ancaman bagi pelaku usaha tekstil di Indonesia. Sehingga, beredarlah kampanye thrifting dengan masalah kesehatan dan juga pemerintah Indonesia dalam upaya menggenjot perekonomian lokal. Hal itulah menjadi tantangan berat yang dihadapi bagi para pedagang thrifting di Indonesia, seperti Pakdhe Chemany.

Pengaruh Tren thrifting Terhadap Industri Fast Fashion
Thrifting sendiri memang berdampak terhadap industri fast fashion. Perlu diketahui, fast fashion merupakan konsep produksi pakaian siap pakai dengan harga terjangkau. Industri fast fashion melahirkan produk pakaian yang murah, cepat, dan trendi. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan gaya hidup berpakaian yang berubah-ubah, industri ini dianggap menjadi solusi. Akan tetapi, hal itu nyatanya tidak lepas dari kontroversi di baliknya.

Berbagai masalah mencuat mengiringi tumbuhnya industri ini. Masalah ini muncul dari segi ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dilansir dari katadata.co.id, potensi kerugian ekonomi dari pakaian yang tidak dipakai dan tidak terdaur ulang mencapai US$ 500 miliar per tahun. Dari segi sosial, industri ini dianggap telah mengeksploitasi pekerja di bawah umur, dan lebih dari 50% pekerja tidak dibayar sesuai upah minimum. Limbah produksi pakaian juga dinilai berkontribusi besar terhadap pencemaran lingkungan. Industri ini menghasilkan emisi sekitar 1.715 juta ton CO2 per tahun, serta limbah mikrofiber sebesar 50 miliar plastik per tahun. Tentu ini menjadi catatan serius bagi banyak pihak yang masih berkutat dan melanggengkan praktik ini.

Menurut Afif, kegiatan thrifting ini sebenarnya tidak bisa dikatakan serta merta sebagai fast fashion, namun akan lebih berkaitan jika dikatakan sebagai sustainable fashion. Tren thrifting ini berperan memperpanjang usia atau keberlangsungan produk. Dalam hal ini, thrifting juga merupakan penunjang suistanable fashion, maka kaitan antara thrifting dan fast fashion ini sangat erat dan bersahabat karena saling mendukung. Maka dari itu, thrifting juga memengaruhi kedua hal tersebut, namun lebih erat berkaitan dengan sustainable fashion (fesyen berkelanjutan).

Charlita sendiri menilai bahwa pengaruh thrifting terhadap industri fast fashion sendiri itu antara baik dan tidak baik. Hal positifnya dapat mengurangi orang untuk membeli baru. Tapi, terkadang di sosial media, ada beberapa pakaian thrifting menjadi tren. Sehingga, banyak orang mencari barang-barang yang mirip begitu dengan membeli baju-baju dari retailer yang melanggengkan fast fashion. “Jadi alangkah baiknya, kalau memang kita thrifting itu lebih buat sesuai kebutuhan, bukan karena ingin mengikuti tren, bukan karena ingin jadi kaya influencer A atau B begitu, sih, dari aku,” tuturnya.

Isu miring thrifting
Kegiatan thrifting tak lepas dari pandangan negatif di mata masyarakat. Bahkan, hal itu telah terjadi pada masa awal tren ini berkembang. Biasanya, barang bekas ini digunakan oleh para imigran. Sehingga, cap negatif melekat pada barang ini. Pergerakan dari Goodwill Industries, salah satu thrift shop terbesar di Amerika, dengan menjadikan thrift store menjadi department store terbilang cukup sukses. Mereka berhasil mengubah stigma the junk shops menjadi “a different approach to charity”. Pandangan segar masyarakat tentang pakaian bekas pun perlahan berubah.

Sementara itu, lain halnya di Indonesia. Umumnya, masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk membeli baju baru dan mengoleksinya. Kultur itu sering diungkapkan masyarakat bahwa lebih baik membeli banyak baju dengan kualitas yang menengah dibandingkan membeli satu baju dengan kualitas utama. Begitu juga pandangan masyarakat perihal pakaian bekas. “Orang-orang zaman dulu beli baju bekas kan kurang diminati, istilahnya kan sudah dipakai orang masa mau beli dan kamu pakai sih,” begitulah penuturan Charlita, founder @kekno_klambimu, saat bersua dengan wartawan Philosofis via platform daring pada 25 Juli 2021.

Komunitas Kekno Klambimu adalah sebuah kampanye sosial untuk mencegah terbentuknya atau terbuangnya limbah tekstil dan sampah-sampah tekstil yang mencemari lingkungan. Upaya ini dilakukan dengan menggandeng Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Perca Ayu di Surabaya. Agendanya meliputi pengolahan kembali limbah-limbah tekstil menjadi barang baru yang berdaya guna dan bernilai jual. Sehingga, limbah tersebut bisa diedarkan kembali ke masyarakat dan memperpanjang masa pakai kain tersebut.

Komunitas yang berbasis di Surabaya ini juga setuju dengan thrifting. Charlita menjelaskan jika merujuk pada buyerchy of meets (piramida kebutuhan membeli), posisi thrifting berada di bagian atas. Artinya, semakin atas important-nya, semakin rendah karena berpotensi menimbulkan banyak sampah. “Tetapi, thrift itu sebenernya hal yang baik daripada membeli lagi, kami mendukung,” ujarnya. “Asalkan dilakukan dengan bertanggung jawab dan penuh pertimbangan yang bijak,” lanjutnya.

Hal itu senada pula dituturkan oleh Afif Ghurub. Tren ini dipandang sebagai hal yang positif. Baginya, thrifting sangat mendukung suistanable fashion. Hal itu terjadi karena jika suatu pakaian mengandung bahan yang sulit terurai, thrifting ini setidaknya membantu memperpanjang keberlangsungan pakaian (masa pakai) tersebut, hingga akhirnya menjadi limbah dan meminimalisir adanya limbah baru. Meskipun, banyak stereotipe miring yang berkembang di masyarakat tentang baju bekas. Padahal hal tersebut lumrah dan sah-sah saja dalam dunia fesyen sepanjang sesuai norma, etika, dan estetika.

Arah Menuju Sustainable Fashion
Fenomena thrifting secara tidak langsung mengarahkan masyarakat beralih menuju sustainable fashion. Menurut Zerowaste.id, sustainable fashion atau fesyen berkelanjutan dapat diartikan sebagai praktik dalam fesyen yang lebih mementingkan nilai lingkungan dan kemanusiaan. Masyarakat perlahan memilih untuk membeli baju bekas ketimbang baju baru dengan cara thrifting.

Tren ini mulai memberikan pengaruh dengan kebermanfaatan pakaian. Kesadaran masyarakat menjadi tumbuh ketika melakukan kegiatan ini. Dengan thrifting, mereka bisa mendapatkan barang yang bagus dan murah tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam. Pernyataan tersebut diafirmasi oleh Ilham Razaq, salah satu konsumen thrifting. Mahasiswa berusia 19 tahun tersebut menyampaikan kalau barang thrifting lebih ramah di kantong. Ilham berkata dengan uang seratus ribu rupiah cukup membeli beberapa potong baju. Lain cerita jika yang dibeli itu barang baru karena biasanya hanya mendapatkan satu baju saja atau bahkan tidak cukup.

Founder @kekno_klambimu, Charlita, juga menilai belanja pakaian bekas dapat menjadi langkah awal bagi praktik barang berkelanjutan. Hal ini tentu penting sebagai pintu menuju fesyen berkelanjutan. “Harapannya thrift ini sebagai langkah awal, jadi lebih pakai yang punya atau swapping baju atau pinjem,” kata Charlita. Keberlangsungan barang terutama pakaian bekas menjadi lebih lama. Membeli baju baru bisa menjadi pilihan terakhir di kalangan masyarakat. Karena, pakaian baru dapat dimiliki tanpa harus membeli, bisa pinjam, tukar, sewa, beli bekas, dan buat, sebelum akhirnya beli baru.



Irfan Arfianto
Reporter: Rama Ardiansyah, M. Bagas Prasetyo, dan Irfan Arfianto
Editor: Farras Pradana
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar