XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Dee Lestari dan Perjalanan Panjang Karir Kepenulisan

Jalannya acara bersama Dee Lestari. (foto: Ariska Sani)


Kamis, 21 September 2023, Auditorium Grhatama Pustaka, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tampak ramai disesaki puluhan orang. Sebuah spanduk besar bertuliskan “Meet & Greet Dee Lestari” terpampang di bagian depan ruangan berkapasitas 100 orang ini. Hari itu adalah agenda Temu-Sapa Dee Lestari di Yogyakarta, sekaligus sosialisasi layanan perpustakaan oleh Nasrul Wahid dari Balai Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DIY. 

Dalam perjumpaan dengan penggemarnya, Dee Lestari menceritakan proses kreatifnya dalam menciptakan sebuah karya. “Aku mulai menulis dari kelas 5 SD,” ujar penulis sekaligus penyanyi itu.

Dalam menikmati atau menciptakan sebuah karya, ia tidak pernah mengotak-kotakkan karya dalam bentuk atau jenis seperti novel, cerpen, atau lainnya. Bahkan, perempuan asal Bandung ini memiliki istilah sendiri dalam menyebutkan sebuah cerita yang tak terlalu panjang, namun juga tidak pendek, yakni cerdeng atau cerita sedeng. 

Selain menulis, Dee juga memiliki kegemaran bermusik. “Dari kelas 5 SD, aku nulis sambil bermusik,” terangnya. Dari dua kegemaran itu, perempuan kelahiran 20 Januari 1976 ini mampu melahirkan puluhan karya berupa buku dan lagu.

Dengan berbagai buku yang telah ia tuliskan, penulis novel Supernova ini sedikit berbagi cara menulis bagi penulis pemula. “Nulis aja dulu, jangan dibikin susah,” ujarnya dalam bincang sore itu. Menurutnya, ujian utama seorang penulis pemula adalah selesai atau tidaknya sebuah karya.

“Proses menulis dari awal sampai rampung adalah proses untuk mengenali diri sendiri,” ucap Dee. Hal ini senada dengan anggapannya bahwa setiap detik perkembangan hidup dapat dituangkan dalam tulisan. Oleh karena itu, menulis menjadi langkah refleksi diri. Dari sinilah, seorang penulis pemula dapat mengetahui karakter dirinya dan tulisannya, serta genre apa yang cocok untuk digarap.

Selain itu, penulis yang sore itu menggunakan baju hitam menjawab sebuah pertanyaan soal perbedaan dirinya yang dahulu dan sekarang, sekaligus menjelaskan tantangan terberat penulis cerita fiksi. “Saya bisa simpulkan kalau sekarang Dee Lestarinya lebih ngga kelihatan,” jawabnya kala ditanya perbedaan soal dirinya. Ia menambahkan bahwa sebuah karya bagus adalah yang mampu menghanyutkan dan mampu melupakan siapa penulisnya.

“Teknik penulisan yang mengaburkan penulisnya, itu yang susah,” ungkapnya. Menurutnya, ketika penulis mampu menguasai teknik itu, berarti ia sudah mampu mengedepankan cerita dan karakter. Teknik itu membuat pembaca seakan hanyut dalam dunia fiksi buku, dan lupa bahwa dirinya hidup di dunia nyata.

Sementara itu, ketika disinggung mengenai peran yang lebih disukai antara penulis atau penulis lagu, Dee Lestari tampak tak bisa menentukan pilihannya. “Dua-duanya punya karakteristik tersendiri. Kalau bikin lagu, saya senengnya bisa cepet, bisa satu sampai dua hari selesai. Nah, kalau novel beda lagi. Butuh waktu berbulan-bulan, butuh kerja keras dan sangat menguji stamina serta fisik,” ujarnya.

Ia melanjutkan bahwa dalam menciptakandua karya itu—novel dan lagu—memiliki kepuasan yang berbeda. “Kepuasan jelas beda, dengan novel saya bisa menciptakan sebuah dunia baru. Sedangkan kalau lagu, saya bisa bercerita namun terbatas,”jelasnya melanjutkan.

Bagi Dee Lestari, proses menulis adalah proses grafting, atau sama halnya dengan mengukir. Untuk sebuah ukiran yang indah, tidak bisa hanya bisa dilakukan dengan sekali congkel. Bahkan setelah mendapat bentuk yang diinginkan, perlu adanya proses penghalusan berkali-kali.

Ia pun kembali pada poin awal yang sempat disampaikan, yaitu menamatkan karya. Perempuan alumni Universitas Padjajaran ini menegaskan bahwa menulis cerita yang menarik harus memperhatikan segala lini. “Semuanya harus diperhatikan, mulai dari dialog, karakterisasi, hingga keseluruhan ceritanya harus logis,” ucapnya.

Acara itu dilanjutkan dengan tanya-jawab perserta, kemudian diikuti dengan sesi book signing dan foto bersama. Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta yang merupakan mahasiswi Sastra Indonesia UGM, Hesty Nurul Kusumaningtyas, mengaku menggemari Dee Lestari sejak bangku SMA. Dengan membawa buku Dee Lestari berjudul Rapijali 1, Hesty bersemangat mengungkapkan tekat untuk mengentaskan skripsinya yang membahas buku tersebut, ketika diwawancarai dalam sesi terpisah.


Ariska Sani

Reporter: Ariska Sani dan Dian Wahyu

Editor: Zhafran Hilmy

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar