XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Perundungan dan Intimidasi Warnai Pemilwa Fishipol UNY

 

Ilustrasi: Adam Yogatama

Sekelumit kisah trauma penyintas perundungan Pemilwa Fishipol

Awalnya Baron, bukan nama sebenarnya, membuat survei elektabilitas Pemilwa Fishipol UNY 2023. Tujuannya sederhana: melihat jumlah pemilih pada paslon yang maju. Namun, survei buatannya dinilai  melanggar aturan Pemilwa oleh panitia Panwaslu. Tidak berhenti di situ, ia mendapat perundungan: mulai dari dicap sebagai sampah masyarakat, bajunya ditarik paksa, hingga kuping kirinya diminta untuk dijadikan gantungan kunci.  

Kasus ini bermula ketika Baron, seorang mahasiswa Fishipol, membuat survei elektabilitas pemilwa di jurusannya-- Pendidikan Geografi. Ia membuatnya pada Rabu, 6 Desember 2023, melalui google formulir. 

Formulir yang Baron buat berisi nama samaran, pertanyaan singkat, pasangan calon di tingkat universitas, fakultas, dan prodi. Awalnya, form yang Baron buat wajib diisi oleh mahasiswa di Pendidikan Geografi angkatan 2023. 

“Alasan wajib mengisi untuk mencapai target responden di Pendidikan Geografi angkatan 2023,” ucap Baron menjelaskan.

Penetapan target responden survei tidak berdasar dari metode survei elektabilitas yang ada. Sebab, ia membuat patok tersebut berangkat dari asumsi belaka. Ia membuat patok sebanyak minimal 25 responden. Menurutnya, 25 mahasiswa yang mengisi dapat memberi gambaran situasi pemilwa di Prodi Pendidikan Geografi. 

Ketika form survei mulai disebarkan, ia mengatasnamakan diri sebagai Satya Network–sebuah lembaga survei yang dibuat Baron. Namun, lembaga tersebut tidak memiliki struktur, tanggal pendirian, dan anggota, serta surat izin.

Baron tak bekerja sendiri. Ia dibantu oleh temannya, Andre—bukan nama sebenarnya. Ia bertugas membagikan form survei yang dibuat Baron ke Kelas B, Pendidikan Geografi 2023. Setelahnya, ketika form telah disebar dan diisi, responden dipersilahkan untuk mencantumkan dua angka terakhir NIM, sebagai tanda bukti. 

“Saya minta tolong Andre untuk menyebarkan survei ke Kelas B,” ucap pria dengan kulit sawo matang ketika diwawancarai Philosofis. 

“Sekalian list yang sudah mengisi, sebagai bukti,” imbuhnya.

Menurutnya, survei elektabilitas yang ia buat mendapat respon positif, dengan tolok ukur banyak mahasiswa yang sudah mengisi. Melihat respon yang bagus dari jurusan, Baron melanjutkan membuat survei di tingkat fakultas–Fishipol. 

Form untuk fakultas disebarkan pada Kamis, 7 Desember 2023. Isinya hampir sama, perubahan hanya terlihat pada kolom paslon yang maju. 

Baron meminta bantuan orang yang ia kenal dan percaya, untuk membagikan survei ke berbagai jurusan. Kali ini, ia ingin mendapatkan respon yang lebih luas. 

Ketika form survei sudah disebar, Baron menjamin tidak ada kebocoran data. Ia merahasiakan data responden yang masuk. 

“Data yang masuk saya simpan sendiri, tidak dibagikan ke mana pun,” jelas Baron meyakinkan. 

“Karena ini inisiatif saya sendiri dan berangkat dari survei di jurusan. Saya juga merahasiakan data yang masuk,” terangnya menambahkan. 

Malamnya, form yang disebarkan menjadi pergunjingan. Baron mendapat respon negatif. Survei itu berubah menjadi malapetaka. 

Huru-Hara Berakhir Pencabutan Hak Suara

Pada hari yang sama, Kamis, 7 Desember 2023, form survei fakultas sudah menjadi buah bibir mahasiswa Fishipol. Kejadian itu bermula kala survei mendapat respon dari beberapa orang dan kelompok.

Baron tidak mengira, survei yang dibuatnya menimbulkan huru-hara. Huru-hara yang menyeretnya untuk hadir dalam rapat pleno.

Baron mendapatkan undangan dari Ketua Panwaslu, untuk menghadiri rapat pleno. Berisi tindak lanjut sebuah laporan, ia meminta Baron untuk hadir sebagai terlapor pada Jumat, 8 Desember 2023, pukul 13.00–maju satu jam dari waktu awal undangan.

Dari arah Gedung IsDB, Baron bergegas menuju pendopo kala rampung Ibadah Jumat. Sesampainya di sana, ia mendapati banyak orang sudah menunggu di area sekitar pendopo. 

Beberapa pihak memang diundang oleh Nafis untuk hadir pada rapat pleno. Perwakilan Timses 01 sebagai pihak pelapor, Oqi sebagai Ketua KPU, dan kedua Paslon yang maju dalam Pemilwa Fishipol.

Baron kemudian berjalan memasuki pendopo, ia duduk bersila di bagian tengah. Tak berselang lama rapat pleno dimulai. Pihak pelapor lebih dulu melayangkan rentetan pertanyaan pada Baron.

“Apa tujuan pembuatan survei?” ia memulai pertanyaan, “Siapakah Satya Network?” pria itu kembali melempar pertanyaan, “Apakah sebelumnya sudah ada koordinasi dengan paslon terkait survei?” tanyanya lagi.

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh pihak pelapor, Baron berusaha untuk menjawab perlahan. Menjelaskan secara kronologis awal mula survei yang ia buat. 

“Belum,” Baron menjawab pertanyaan terakhir dari pelapor.

“Bahkan, bisa dibilang tidak ada koordinasi dengan paslon dua,” imbuhnya. 

Dihantui kebingungan, Baron diberi penjelasan oleh Ketua Panwaslu, bahwa survei elektabilitas yang dibuatnya termasuk dalam pelanggaran berat. 

“Survei yang dibuat termasuk dalam spam dan menimbulkan kegaduhan,” jelas Baron sembari mengingat-ingat.

Lebih lanjut, Panwaslu melihat ada kerja sama secara tak langsung, antara Baron dan paslon dua Fishipol—Roul dan Awwab. Menurut Panwaslu, Roul dan Awwab seharusnya menegur Baron yang saat itu tergabung dalam timses mereka. Perbuatan itu dinilai melanggar enam asas. 

“Melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan Adil (Luber dan Jurdil),” jelas Baron. 

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Panwaslu atas persetujuan KPU menjatuhi Baron sanksi atau hukuman. 

“Hak suara saya dicabut,” ucap Baron dengan ekspresi penyesalan.

Tak hanya Baron, hukuman juga diberikan kepada paslon dua Fishipol.

“Paslon dua mendapat pemotongan suara 30%,” ujarnya sambil duduk bersila menjelaskan.  

Setelah pembacaan putusan hukuman, Baron diminta oleh Panwaslu untuk memindahkan data responden. Google formulir juga dihapus. Tujuannya untuk memastikan tidak ada kebocoran data. 

Tak berhenti di sana, sekitar pukul 16.00 WIB, Baron diminta membuat video klarifikasi oleh Panwaslu–suatu bentuk hukuman tambahan. Sanksi itu tidak tertera pada peraturan panwaslu. 

Dalam durasi video sekitar satu menit, Baron mengaku bersalah. Formulir yang dibuat menimbulkan kegaduhan. Ia meminta maaf.

Suasana kadung memanas di Belakang IsDB, waktu itu tekanan tertuju pada Baron. Perundungan pun tak terhindarkan.

"Sebenarnya misal dia (Baron: red) itu jujur mengakui, dia terbuka sama temen-temen fishipol, akhirnya meminta maaf atas kesalahannya oke-oke aja. Tapi akhirnya timbul tekanan ketika dia tidak mau mengakui secara gamblang, niat dia bener-bener mengakui, di situ muncul perundungan, karena nggak terima," ucap salah seorang pelapor yang berada di belakang IsDb mmenjelaskan.

Survei Elektabilitas Berujung Tertindas

Dengan segala kegaduhan yang ada, Baron memang bersalah. Ia diganjar hukuman oleh Panwaslu. Namun tak hanya berhenti di sana, makian dan perundungan ikut menyerbu Baron. 

Perundungan dimulai bahkan sebelum Baron bertemu dengan Panwaslu. Kamis malam, 7 Desember 2023, gawai milik Baron ramai oleh notifikasi. Sumbernya dari obrolan grup bernama Warga Bejo Kelas D. 

Di grup itu, Baron mulai merasa tertekan.

“Saya dimasukkan ke grup, namanya Warga Bejo Kelas D. Tujuannya untuk dimintai klarifikasi,” Baron menjelaskan. 

“Di dalam grup itu saya mendapat perkataan yang tidak pantas, seperti kata-kata anjing dan lain sebagainya,” ucapnya sambil memperlihatkan ruang obrolan dalam grup Warga Bejo Kelas D. 

Ia tak sendiri, Warga Bejo Kelas D juga memasukkan Shely-- bukan nama sebenarnya. Seorang teman yang membantu Baron menyebarkan google formulir ke beberapa prodi: Pariwisata 2023, PKnH 2023, Pendidikan IPS 2023, dan Administrasi Publik 2023.  

Shely dipaksa untuk klarifikasi di grup Warga Bejo Kelas D. Dengan rasa takut, ia menulis permintaan maaf akibat tindakannya. Tak berselang lama, setelah ia mengirim permohonan maaf, Shely dikeluarkan dari grup.

Kejadian itu menimbulkan trauma bagi Shely. Ia kehilangan kepercayaan diri. Dibayangi ketakutan untuk membaur bersama teman kelasnya. Hari itu, Shely menangis semalam suntuk.

“Peristiwa kemarin masih nempel banget di kepala, jadi susah buat lupa. Setiap kali ke kelas malu untuk ketemu orang, takut banget dipermalukan sama orang-orang, takut kalau mereka punya pikiran negatif,” ucap Shely sambil tersedu. 

Matanya yang sembab menandakan penyesalan yang teramat bagi Shely. Ia tidak menduga akan terseret kasus ini. Terlebih, Shely sudah berhati-hati sebelumnya.

“Sebelum membagikan survei, aku juga udah bilang sama Panwaslu,” ucap Shely dengan nada lirih.


“Terus katanya diperbolehkan,” sambung Shely.

Akibat ikut menyebarkan google formulir, menurut Shely, beberapa teman kelasnya ikut menjauhi.

“Aku juga dapat sindiran dari teman sekelas,” tambahnya malam itu.

Perkataan tadi tidak berhenti di hari ketika survei buatan Baron ramai diperbincangkan. Kala ia menghadiri sidang pleno pada Jumat, 8 Desember 2023. Baron dihujani cacian secara langsung.

“Anak siapa kamu?” ucap Baron ketika mencoba mengingat perkataan yang dilayangkan padanya. 

Terpantik memoar buruk dalam ingatannya, ketika itu beberapa orang sedang memainkan alat kebersihan. Sampai ada yang nyeletuk padanya. 

“Pendoponya dibersihkan dahulu, ini ada sampah masyarakat!” Baron menirukan gaya bicara pelaku.  

Sampah masyarakat yang disebut adalah Baron. 

Waktu dirundung, air mata Baron serasa ingin tumpah. Ia ingin melawan. Melihat jumlah pelaku yang lebih dari lima orang, ia tidak berani dan tidak berdaya. 

Suasana rapat menjadi tegang. Seorang pelaku berusaha untuk mencairkan suasana. Ia menawarkan rokok pada Baron. Tetapi, Baron menggelengkan kepalanya. 

Pelaku merasa geram atas penafian dari Baron. Secara spontan lalu menaruh rokok itu pada telinga kiri Baron. Tak lama kemudian, pelaku ingin membakar sebatang rokok yang bertengger di kuping Baron. 

“Ada yang ingin menyalakan rokok itu dengan korek gas dua kali. Untung saya bisa menghindar.”

Tak berhenti di situ saja. Baron seperti dijadikan asbak oleh pelaku. Abu rokok yang telah terbakar dan akan dibuang, diarahkan ke tubuh Baron. 

“Ada orang yang merokok kemudian abunya dijatuhkan ke badan saya. Dari kepala jatuh mengenai tangan. Saya melihatnya sendiri,” ujar Baron. 

“Kejadian itu berlangsung selama 10 menit,” tambahnya.

Untaian perlakuan membuat Baron makin gemetaran. Apalagi kala pelaku berbisik lirih pada Baron. 

Yen kupingmu tak jaluk siji oleh ora? Tak nggo gantungan kunci (kalau kupingmu saya minta satu apa boleh? buat gantungan kunci),” ujar Baron sambil kembali menirukan pelaku.  

Akibat rentetan perundungan itu, Baron menjadi tak tenang untuk sekadar datang ke kampus dan menjalankan aktivitas kuliah seperti mahasiswa lainnya.  

“Ketika saya diajak untuk rapat bersama teman himpunan, saya tak ingin rapat di kantin atau lewat kantin. Khawatir kalau ada gerombolan yang mengintimidasi saya,” ucap Baron dengan nada lirih. 

Ia trauma. Baginya hampir tidak ada ruang aman lagi di kampus Fishipol. 

“Saya pindah parkiran di Gedung Terpadu, depan Food Court. Saya merasa tak nyaman jika parkir di Fishipol,” kata Baron. 

“Ada ketakutan ketika bertemu dengan mereka lagi,” tambahnya. 

Persis tak ada satu pihak yang membela Baron. Bahkan, pihak birokrasi memilih untuk menghentikan kasus ini. Sikap itu diketahui ketika Awwab menghadiri rapat bersama Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni.

“Saya sudah menjelaskan secara kronologis kepada Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni. Tetapi beliau meminta untuk cukup sampai di sini, tidak usah dilanjutkan,” ucap Awwab sambil mengingat.

Menggugat Pengurangan Suara 30%

Senin, 11 Desember 2023, duduk dua orang di ruang rapat sebelah Barat, Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) lantai tiga. Mereka, Roul dan Awwab, melakukan sidang banding terhadap hukuman pengurangan suara 30%. 

Dengan alasan tertentu, sidang banding digelar secara tertutup. Hanya beberapa pihak yang memiliki akses. Timses dari masing-masing paslon dan perwakilan setiap organisasi mahasiswa (ormawa), turut andil pada sore itu.

“Ditakutkan ada ancaman-ancaman dari luar, suara-suara dari luar. Takutnya saksi merasa tertekan,” ucap Vicko seorang majelis hakim satu. 

Sekitar pukul 16.00 WIB, sidang banding dimulai. Dibersamai oleh tiga majelis hakim atau presidium. Roul dan Awwab mulai membacakan gugatannya.

“Survei itu di dalam peraturan tidak ada. Artinya itu tidak menyalahi aturan kampanye, karena yang disebut kampanye adalah menghimpun atau terdapat visi misi, sedangkan dalam link survei itu tidak ada,” ucap Awwab sore itu. 

Selesai pembacaan gugatan, majelis hakim melontarkan berbagai pertanyaan pada Baron.

“Apa dasar pembuatan survei?” majelis hakim memulai pertanyaan, “Apa maksud dari kata wajib dalam pengisian survei?” lanjut majelis hakim bertanya, “Apakah ada koordinasi sebelumnya dengan paslon dua?” tambah majelis hakim bertanya pada Baron.

Tak lama setelah majelis hakim bertanya, Panwaslu yang ketika itu hadir sebagai tergugat, memberikan tanggapan terlebih dahulu. 

“Panwaslu membacakan pasal-pasal yang mereka gunakan untuk menjatuhkan putusan di hari Jumat,” ucap Baron seraya mengingat perkataan Panwaslu.

“Sebagai counter atas gugatan Awwab,” tambahnya.

Sesampainya pada Baron, ia bersuara untuk menjadi saksi pertama di sidang banding. Ia duduk di bagian tengah ruang sidang, dikerumuni oleh orang-orang yang hadir. Kendati berada dalam kerumunan, Baron menjawab secara lugas berbagai pertanyaan dari majelis hakim. 

“Saat itu saya memberikan keterangan sebagai saksi,” kata Baron. 

Tetapi di pertengahan sidang, Baron mulai merasa tak nyaman. Rasanya ini seperti penghakiman kembali bagi dirinya.

“Sidang lebih dominan membahas soal survei. Sedikit membahas gugatan sidang: pengurangan suara 30%,” tegas Baron.

“Saya merasa dipojokkan, didesak oleh banyak orang, bahkan lebih banyak daripada pelaku (perundungan) di Hari Jumat,” imbuh Baron menjelaskan.

Di sisi lain, Shely yang kala itu hadir sebagai saksi kedua, lebih berhati-hati untuk bicara. 

“Sebetulnya ketika sidang, salah seorang dari Panwaslu datang ke aku. Minta untuk tidak membawa nama KPU dan Panwaslu ketika dimintai keterangan. Sebab, ini tak ada hubungan dengan dua lembaga itu,” ucap Shely sambil mengingat ucapan salah seorang Panwaslu. 

Berbagai pihak yang hadir diberi hak suara untuk menanggapi pernyataan para saksi. Begitu semuanya sudah mengambil hak suara, tibalah penentuan putusan oleh majelis hakim. Keputusan yang diambil bersifat final.

“Menolak banding dari Roul dan Awwab, sebagai paslon dua Fishipol.”

Awwab yang saat itu hadir sebagai penggugat, merasa kecewa atas putusan tersebut. Ini tak seperti apa yang ia bayangkan.

“Saya tidak mendapat benang merahnya. Penjelasannya muter-muter, malah yang banyak dibahas adalah survei,” ucap Awwab menjelaskan kepada Philosofis.

Hiruk-pikuk Pemilwa Fishipol menyisakan ingatan buruk dan trauma akibat perundungan yang menyertai. Kini penyintas berjuang sendiri. Mereka disuruh berdamai, tanpa adanya tindakan pelaku yang masih mengintai penyintas perundungan.


Gilang Kuryantoro

Reporter: Tim Redaksi

Editor: Dewa Saputra

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar