XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Kehilangan Mestika: Romansa, Adat, dan Pingitan


Ilustrasi: Gilang Kuryantoro


Judul           : Kehilangan Mestika

Penulis         : Hamidah/ Fatimah Hassan Delais

Tebal           : iv + 88 halaman

Penerbit       : PT Balai Pustaka

Tahun terbit : 2011

ISBN           : 979-666-175-6


Pertemuan pertama dengan Fatimah Hassan Delais atau dikenal dengan pena Hamidah, terjadi tak terlalu kebetulan. Petang menuju magrib, saya menyambangi klub baca Radio Buku, membahas sepuluh penulis perempuan dalam buku Yang Terlupakan dan Dilupakan. Bermula dari ketertarikan yang cetek; nama yang indah dan ulasan soal tulisannya yang “lembut namun menohok”, mengantarkan saya pada kerinduan untuk menilik tulisan perempuan kelahiran Bangka 1915 tersebut.

Tak ada yang spesial dari alur cerita yang Fatimah hadirkan pada novelnya. Dalam payung lebar hanyalah kisah romansa biasa. Seorang gadis yang terjebak oleh kelembutan hatinya, sehingga berurusan dengan tiga lelaki yang dicintai pada waktu berbeda. Namun, kentalnya adat dan campur tangan keluarga dalam mendorong alur cerita, menjadikan Kehilangan Mestika bukanlah roman picisan belaka.

Berani dan Kritis

Atmosfer kritis nan berani dari Hamidah, sang tokoh utama, telah kental terasa kala perjalanannya pulang dari Padang Panjang. Ia baru saja lulus dari sekolah Normal Putri setelah empat tahun. Pulang menaiki kapal, ia bertemu dengan seorang lelaki yang menawarkan diri untuk menjaga dirinya dan rekan-rekan.

Seiring waktu, Hamidah merasa aneh dengan lelaki itu hingga ia benar-benar yakin kalau lelaki itu tak beres. Sebab, ia memamerkan wanita-wanitanya dan kebolehan dalam menaklukkan perempuan. Kalau zaman sekarang, mungkin mirip dengan laki-laki omdo alias omong doang, yang gemar flexing untuk praising diri sendiri. Merasa gagah padahal tak sadar sudah membuat banyak perempuan ilfeel.

“Apakah maksudnya mengeluarkan perkataan itu di hadapanku. Berkenankah diriku ini padanya? Ah, sungguh ngeri!”

Demikian yang Fatimah tuliskan sebagai Hamidah dalam bukunya.

Keberanian Hamidah juga terlihat dari perjalanan lanjutannya dengan kereta. Gerbong kelas dua telah penuh dan surat perjalanan mengizinkan mereka ke kelas satu, jika sudah tak ada tempat. Kawan-kawan Hamidah tidak berani pindah, khawatir diusir kondektur. Namun, Hamidah menegaskan kalau ia yang akan melawan jika memang terjadi demikian.

Kejadian tersebut hanyalah contoh kejadian kecil, tidak seberapa dibanding yang terjadi selanjutnya. Sesampai di kampung halaman, Mentok, Hamidah menjadi yang pertama membebaskan diri dari tradisi pingitan. Ia tak goyah meski mendapat cacian bahkan bapaknya terancam diberhentikan sebagai khatib dan anggota dewan agama.

Pingitan: Antara Adat dan Agama

Hamidah getol melawan adat dan memerangi kebodohan di negerinya. Ia menjadi pintu pertama terbebasnya perempuan dari tradisi pingitan. Bersama beberapa kawan, ia juga membangun perkumpulan ibu-ibu dan mengajarkan baca-tulis. Menurutnya, untuk memperbaiki suatu bangsa, harus dimulai dari perempuan-perempuan calon ibu.

Pola kehidupan Hamidah yang berbeda dengan masyarakat tempatnya tinggal, memantik kebencian terhadap dirinya dan keluarga, terutama sang ayah. Ia dilabeli kafir karena pergi ke sana-kemari tanpa selendang, menonton film, dan bergaul dengan laki-laki. Meski mendapat cacian dan bapaknya terancam diberhentikan dari jabatan, Hamidah teguh, tak gentar.

Bagi Hamidah, masyarakat di tempatnya tinggal masih terlalu bodoh dan kuno. Mereka tidak bisa membedakan adat dan syariat agama. Hal-hal yang sebenarnya adat, mereka anggap sebagai syariat, termasuk mengurung anak perempuan di dalam rumah. Kurungan yang sangat ketat, sehingga ketahuan mengintip keluar jendela atau pintu saja membuat mereka dilabeli “kain jendela” atau “kain pintu”.

Berbeda dengan pingitan di Jawa yang hanya beberapa hari atau bulan sebelum pernikahan, pingitan di Mentok dilakukan setelah anak perempuan berusia 12 tahun atau bahkan kurang dari itu. Mereka diharuskan diam di dalam rumah hingga ada laki-laki yang memperistri.

Kondisi ketidakberdayaan ini mengingatkan saya pada novel lawas legendaris karya Kahlil Gibran, Sayap Sayap Patah. Perempuan di Lebanon pun diperlakukan seperti barang yang dijaga kemudian dijual pada keluarga lain melalui pernikahan. Salma Karami, sang tokoh perempuan, bahkan tidak memiliki kebebasan untuk menolak lamaran sebab datangnya dari keluarga uskup. Latar yang kental dengan kepercayaan Katolik seolah mengamini klaim Hamidah bahwa pingitan adalah masalah adat, bukan agama.

Hamidah tidak pernah melawan adat itu dengan pertentangan yang keras dan berkobar-kobar. Penolakannya serupa karang yang diterjang ombak. Kadang ia perlu tunduk, tetapi ombak lebih sering lelah dan mengalah padanya. Hamidah hanya diam bila dikata yang tidak-tidak. Namun, aktif dalam melembutkan mereka yang mau dilembutkan melalui perkumpulan perempuan yang dibuatnya.

Romansa dan Intervensi Keluarga

Hamidah tidak lebih beruntung daripada Salma Karami meski dapat memilih untuk menerima atau menolak lamaran. Hubungan Hamidah mendapat banyak intervensi dari pihak keluarga yang tidak setuju. Tiga kali ia menjalin hubungan dengan lelaki, tiga kali pula ia dipisahkan dengan mereka karena campur tangan keluarga.

Pertama hubungannya dengan Ridhan, seorang sahabat lama yang akan dijodohkan dengan putri paman Ridhan sendiri. Ridhan menolak perjodohan itu dan memohon pada Hamidah untuk menolongnya. Mereka lantas berkekasih, tetapi belum lama, mereka dipisahkan karena Ridhan harus bekerja di Jakarta.

Selama perpisahan mereka, komunikasi yang dilakukan dengan surat tidak berjalan lancar. Keluarga Ridhan yang tidak menyukai hubungan mereka, lalu menyembunyikan surat Ridhan untuk Hamidah. Bahkan ketika Ridhan sakit, Hamidah sengaja tidak dikabari hingga akhirnya Ridhan meninggal.

Setelah mengalami kesedihan panjang ditinggal Ridhan, Hamidah mulai membuka hati pada laki-laki di Mentok. Namanya Idrus, lagi-lagi Hamidah harus dipisahkan dengan kekasihnya itu, sebab bapak Hamidah meninggal dan ia terpaksa tinggal bersama kakak dan iparnya di Jakarta.

Kakak iparnya ini tidak suka dengan Idrus. Setiap surat kiriman dari Idrus, mereka selalu sembunyikan. Hamidah tidak pernah menerima kecuali sekali saja karena tidak sengaja bertemu langsung dengan tukang pos. Lebih jauh lagi, kakak Hamidah menjodohkan Hamidah dengan lelaki lain bernama Rusli.

Hamidah setuju menikah dengan Rusli, sebab Idrus tidak pernah membalas suratnya meski sudah berganti alamat. Diketahui, skenario itu sudah diatur dan dimanipulasi oleh keluarga Hamidah sendiri.

Setelah belasan tahun menikah, Hamidah bercerai dengan Rusli. Ia kembali ke Mentok dan tak lama mendapati Idrus yang sakit keras. Lelaki itu melajang seumur hidupnya dan meninggal di hadapan Hamidah.

Kehilangan Mestika sebenarnya kiasan dari Hamidah yang kehilangan lelaki-lelaki yang dicintainya. Seharusnya, ia mungkin dapat menghabiskan waktu dengan bahagia bersama kekasihnya andaikan keluarga Hamidah tak banyak ikut campur.

Ariska Sani

Editor: Gilang Kuryantoro


 


 




Related Posts

Related Posts

1 komentar