XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Dorongan Perbaikan Wajah Pendidikan DIY pada Manifesto Orang Terpinggirkan

Suasana diskusi di Cafe Luwak Mataram (foto : Wisnu Yogi)

Menjelang pilkada, 26 November 2024, Cafe Luwak Mataram menjadi saksi Manifesto: Suara yang Terpinggirkan. Ruang titik temu persoalan di tanah istimewa yang diinisiasi oleh LBH Yogyakarta tersebut, turut menyinggung masalah pendidikan. Sedikitnya warga DIY yang dapat menempuh pendidikan tinggi, menjadi satu anomali di tengah slogan Kota Pelajar. 

Pendidikan tidak lagi mudah dijangkau oleh semua lapisan masyarakat Yogyakarta. Riset yang dilakukan oleh LBH Yogyakarta mengungkapkan, pendidikan yang tersedia hanya dinikmati oleh kaum pendatang. 


“Masyarakat lokal (tidak) banyak yang dapat mengakses pendidikan khususnya pendidikan tinggi. Hanya 9% warga DIY yang dapat menempuh pendidikan tinggi, di tengah banyaknya kampus yang berdiri,” ungkap Putri Titian, koresponden LBH Yogyakarta dalam mengawali manifesto. 


Sorotan LBH Yogyakarta pada isu pendidikan, selaras dengan temuan Yuli, koresponden Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY). 


Persoalan pendidikan tidak hanya dijumpai pada tingkat pendidikan tinggi, mulai tingkat sekolah dasar hingga menengah juga memiliki persoalan krusial.


“(Mulai dari) kecilnya anggaran yang masuk dalam pengelolaan pendidikan, hingga ketidaktransparan pengelolaan pendidikan di sekolah swasta, mengakibatkan sejumlah peserta didik justru direnggut hak pendidikannya,” ungkap Yuli dengan nada tegas.


“Adanya peserta didik yang ijazahnya ditahan oleh salah satu sekolah swasta sejak 2010, menunjukkan wajah buruk pendidikan,” sambungnya.


Wajah pendidikan yang buruk juga didorong oleh lemahnya pengawasan publik. Praktek-praktek yang tidak semestinya, justru lazim dilakukan.


“Dinas pendidikan tidak menjalankan kinerjanya dengan sungguh-sungguh, sehingga ragam pungutan yang seyogianya tidak diberikan kepada orang tua pun berlangsung. Lemahnya pengawasan publik, turut mendorong orang tua merogoh kocek dalam, tanpa memahami nominal biaya yang seharusnya dibebankan oleh sekolah swasta,” tambahnya dengan raut wajah lugas.


Besarnya persoalan pendidikan di tanah keraton, terutama pada sekolah swasta, selaras dengan kecilnya akselerasi BOS yang masuk ketimbang sekolah negeri. Alhasil beban itu dilimpahkan kepada orang tua.


“Agar potret perenggutan hak pendidikan tidak berulang, akselerasi anggaran pendidikan perlu lebih besar. Selayaknya sebagian dana istimewa yang masuk, perlu diberikan lebih besar pada dunia pendidikan sebagai satu penggerak kebudayaan, sehingga tidak lagi dijumpai masyarakat Yogyakarta yang tidak bisa meraih pendidikan,” tutup Yuli memberi solusi perbaikan.



Wisnu Yogi Firdaus

Editor: Ariska Rafika


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar