Dikirim Oleh: Boy Is
Riyadi*
Illustrasi: Boy Is Riyadi |
Yang kami harapkan bukanlah gimmick seorang selebgram, tapi kebijakan yang jelas, adil dan tepat-guna dari Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) untuk mahasiswanya.
Pandemi Covid-19
ini mengerikan. Akan tetapi, (bisa disyukuri atau tidak?) situasi ini membuka
beberapa masalah dalam dunia pendidikan. Selain tak meratanya jaringan internet
pada pembelajaran berbasis online, keterbukaan penggunaan uang pendidikan (Uang
Kuliah Tunggal [UKT] bagi kampus negeri) selama pandemi Covid-19 menjadi sangat
penting untuk diketahui.
Terutama, karena
mahasiswa sudah tak memakai sarana-prasarana kampus, terhitung sejak
pertengahan Maret hingga kini. Sehingga besar kemungkinan akan berlanjut sampai
akhir semester ini.
Berminggu-minggu
dalam kebosanan dan lelah akibat tugas online (bukan kuliah online yhaa),
kami terus menunggu kabar kebijakan UNY perihal UKT. Harap-harap cemas.
Perasaan yang sama seperti menunggu jaminan kuota internet yang disubsidi oleh
kampus—awalnya kukira 30 GB, ternyata cuma 14 GB—bisa buat nonton
Youtube atau engga.
Eng..ing...eng....
Sampailah 12 Mei
2020, Rektorat UNY mengeluarkan Surat Edaran (SE) bernomor T/819/UN34/KU.00/2020
tentang Mekanisme Penyesuaian Biaya Pendidikan/Uang Kuliah Tunggal UNY pada
Masa Pandemi Covid-19.
Di dalamnya,
tertulis skema penyesuaian UKT yang dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu
penyesuaian UKT karena orang tua meninggal atau ekonomi keluarga bangkrut
terdampak Covid-19, pembebasan sementara karena ekonomi terdampak Covid-19
untuk UKT kelompok satu dan dua, pembebasan UKT
semester gasal 2020/2021 bagi mahasiswa tugas akhir yang terdampak pandemi
sehingga tidak bisa mengambil data, serta pembayaran angsuran.
Skema tersebut
harus diajukan oleh mahasiswa atau orang tua/wali dengan mengirimkan surat ke
kampus dengan disertai data pendukung yang relevan. Data pendukung ini dari
pejabat setingkat kelurahan dan untuk mahasiswa tugas akhir pakai surat
keterangan pembimbing tugas akhir. Berkas tersebut kemudian diverifikasi oleh
tim verifikatur untuk kemudian direkomendasikan kepada rektor untuk diputuskan.
Di sinilah,
setelah kubaca dengan seksama dan lebih dari sekali, saya sangsi akan isi dan
mekanismenya. Mari, saya uraikan:
Pertama. Membaca
syarat-syarat kategori satu, bikin hati kesal dan muntab. “Orangtua mahasiswa
meninggal karena Covid-19 atau usaha orang tua mahasiswa bangkrut karena
Covid-19”? Dua unsur spesifik yang kurasa akan mengupayakan penolakan penurunan
UKT pada, misalnya, orang tuaku yang tak bangkrut atau tak meninggal, tetapi
(hanya) terjadi penurunan penghasilan.
Belakangan,
syarat kategori tersebut, ternyata serupa dengan sistem penurunan UKT sebelum adanya pandemi. Lha, kok
sama, sih? Jikalau bukan kemalasan berpikir si pembuat, hanya Tuhan dan para
birokrat UNY yang tahu persis jawabannya. Lanjut. Dalam kategori ini, ada opsi
penurunan jumlah UKT dengan persentase tertentu yang, besaran persentasenya,
hanya diketahui oleh birokrat UNY.
Aliansi UNY
Bergerak menuntut pengembalian atau diskon UKT pada semester 2020/2021, minimal
50 persen (MINIMAL ya, lebih dari 50 persen juga bisa). Persentase tersebut
menjadi wajar dan rasional dalam situasi dan kondisi ekonomi orang tua yang
terdampak pandemi. Pada akhirnya kami pun—seperti yang kusebutkan pada awal
tulisan ini—tak memakai sarana-prasarana kampus sejak pertengahan Maret. Kalau
penurunan UKT hanya 20%-40%, takkan berdampak sama sekali.
Dalam kategori
ini pula ada indikasi penurunan UKT melalui penurunan kelompok. Jika berdasar
tuntutan aliansi yakni penurunan UKT minimal 50 persen, penurunan kelompok UKT takkan
berdampak signifikan pada UKT kelompok tiga ke atas. Misal, besar UKT
kelompok lima adalah 4.8 juta rupiah, sedangkan kelompok empat sebesar 4.3 juta
rupiah. Artinya, hanya terjadi penurunan sebesar 500 ribu!
Padahal, telah
dijelaskan dalam penelitian Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
Ilmu Pendidikan UNY, bahwa secara finansial, semua lapisan masyarakat terdampak pandemi
Covid-19—kecuali bapakmu sekelas Lord Luhut dan Elon Musk. Responden
penelitian pun mayoritas mahasiswa ber-UKT kelompok empat ke atas.
Kemudian kedua.
Kategori dua ialah pembebasan sementara yang hanya diperuntukkan pada mahasiswa
kelompok UKT satu dan dua. Seperti yang sudah kupaparkan di paragraf
sebelumnya, bahwa pandemi Covid-19 meruntuhkan sendi-sendi perekonomian. Orang
tua kami mengalami penurunan drastis pada penghasilan, meskipun tidak terjadi
kebangkrutan. Maka, sungguh diskriminatif pembebasan sementara hanya
diperuntukkan pada para mahasiswa kelompok UKT satu dan dua.
Ketiga. Sebab
bukan mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi, saya tak bisa memakai kategori
tiga perihal pembebasan UKT pada mahasiswa akhir yang tak bisa melakukan
penelitian oleh sebab adanya pandemi. Namun, ketidakjelasan dalam
kategori ini menyeruak kala kakak tingkatku curhat begini: “Heh, ndes...
aku ini masih ngerjain bab satu skripsi, dan belum melakukan penelitian,
tapi di Kartu Rencana Studi Semester ini wes tak isi Tugas Akhir. Iso
oleh pembebasan UKT ga yo?”
Saya tak bisa
menjawabnya, tetapi, kita semoga kan saja Pembimbing Akademikmu baik hati dan
merekomendasikanmu.
Keempat, soal
kategori pembayaran angsuran. Awalnya, dalam SE tertulis pelunasan angsuran
berjangka waktu hanya dua bulan—kemudian diralat setelah gerakan #UNYBERGERAK
jadi trending di twitter. Berubah menjadi batas pengangsuran maksimal
tiga kali, dengan jangka waktu sesuai kemampuan orang tua yang telah disepakati
bersama UNY. Well, bisa ga ya, misal, saya sudah mendapat
penurunan UKT 50 persen, dan dalam pembayarannya melakukan pengangsuran pula?
***
Beberapa tahun
belakangan, UNY terkenal dipimpin oleh rektor yang jenaka dan cakap bermedia
sosial. Ia pun dianggap telah "merevolusi" UNY dengan segala pembangunan
fisik—yhaa, termasuk patung itu. Tak cukup itu,
Profesor Filsafat Jawa ini, yang pertama kali menginisiasi konser bermodal
indeks prestasi semester. Rektor Yujiem mana ada?!
Namun, dalam
riuhnya puja-puji, ada beberapa hal esensial yang sama sekali tak diperhatikan
oleh belio. Sengaja atau tidak. Yakni menjamin kebebasan berpendapat dan keamanan mahasiswa dari kekerasan seksual di area kampus.
Sutrisna Wibawa
(selanjutnya disebut SW) kemudian menjadi objek pemberitaan di banyak media
massa. Pria kelahiran Gunung Kidul itu punya banyak julukan. Dari Dumbledore,
Atung, hingga Rektor Selebgram dan seterusnya. Ia kerap diberitakan sebagai
rektor yang giat memposting kegiatan dan juga konten humoris dalam media
sosialnya—kebanyakan ada pada Instagram. Tak banyak rektor seperti demikian.
Suaradotcom,
seperti media pribadi SW. Hampir di setiap SW memposting konten (lucu), esok
hari atau dua jam kemudian, akan ada berita tentangnya. Atau ketika SW
membutuhkan hak jawab atas persoalan kampus, media massa ini yang pertama kali
menampungnya. Seolah-olah menjadi humas SW. Oh ya, soal gerakan #UNYBERGERAK
tempo hari, media ini kok gak memberitakannya, ya?
Dari sinilah,
karier SW sebagai selebgram mulai tumbuh bersemi. Ciee udah centang
biru~
Bukannya tanpa
cacat. Atau, memang tabiatnya yang (disembunyikan) perlahan keluar. SW adalah sosok anti-kritik. Pada akhir
November 2019, demonstrasi #TresnaUNY digelar. Aksi ini
adalah kristalisasi dari tuntutan beratnya beban kuliah para mahasiswa UNY
cabang Wates, Kulonprogo. Terutama para mahasiswa jenjang D3 dan D4. Mereka
mesti bolak-balik antara Wates dan Jogja untuk pembelajaran teori dan
pelaksanaan praktik.
Untuk kamu ketahui, jarak tempuh
antara Kota Jogja dan Wates Kulonprogo kurang lebih 45 menit. Itu pun kamu
harus pakai kecepatan tak kurang dari 30 km/jam.
Maka wajar bila
ada mahasiswa yang menyampaikan kritik serta keluhan pada akun @sutrisna_wibawa
melalui direct massage. Bukannya disambut dengan antusias dan reflektif,
SW malah membuka data pribadi mahasiswa pengkritik dan mengumbarnya pada
khalayak umum di media sosialnya. Jelas kasus ini adalah pelanggaran siber dan
bukan hal remeh.
Kadang suka senyum dalam hati, ketika suka ada yg ngeluh paling depan dg hebohnya, ingin ini ingin itu dll dg mengatasnamakan teman2nya, tp pas dicek data, IP tidak memuaskan, catatan prestasi NOL kalah oleh teman2nya— Sutrisna Wibawa (@sutrisna_wibawa) November 21, 2019
Dalam melakukan doxing
(mempublikasikan data
informasi pribadi via digital-red), SW juga menyertai kalimat “bersyukur, berusaha, berprestasi dan pakailah
kata-kata yang sopan”. Dengan tiga kata sifat dan kalimat moralis itulah, apa
yang dinamakan Antonio Gramsci sebagai “hegemoni” berjalan. Yaitu kemampuan
penguasa untuk meyakinkan golongan yang dikuasai, bahwa mengkritik atau
mengeluh adalah suatu dosa besar.
Kamu perlu
bersyukur dan berusaha dulu, kalo bisa harus berprestasi, sebelum kamu berani
mengkritik SW dan UNY. Pun, kalo mau mengkritik, pakai salam pembuka dan doa
penutup. Begitulah kira-kira maksud SW.
Hegemoni ini
nyata adanya jika kamu sudi melihat komentar-komentar pada postingan SW yang
memuat kritikan. Kebanyakan dari massa yang terhegemoni ini ialah para alumni
UNY atau kolega SW atau bisa jadi kawan-kawanmu sendiri.
Ciri khas
komentar-komentar mereka adalah adanya upaya perbandingan (semangat) mereka
semasa kuliah. Biasanya dimulai dengan kalimat, “Saya dulu tak begitu...,” atau
“Menyayangkan saja mental para mahasiswa sekarang yang suka mengeluh, ...,” dan
kadang ditutup dengan “.., anak muda jaman sekarang kebanyakan mengeluh!”.
Heh, sini kalian kubilangin!
Asal kalian tahu ya, di usia kami yang belum genap 30, kami sudah dua kali
(2008 dan 2020) merasakan dampak krisis ekonomi, merasakan kengerian wabah
global, terjebak dalam PSBB yang ga jelas, kenyang akan perselisihan
keluarga karena Pilpres, sadar ternyata Tesis 17 Agustus adalah pesan kematian
filsuf progresif, dan konsolidasi oligarki makin jadi.
Ditambah: sadar
rumah dan tanah makin susah dibeli, di mana kos-kosan makin mahal, UKT makin
naik, ongkos makan juga semakin melejit. Namun, ironisnya, pendapatan orang tua
(atau kami yang nyambi kerja) masih sebesar UMR Jogja yang, mungkin saja
tak ada perubahan signifikan sejak kalian, para alumni, masih mahasiswa baru.
Ah sudahlah, ga
usah ikut (permainan) perbandingan. Setiap masa punya semangat zamannya
sendiri.
Sutrisna Wibawa dan @atunmarios itu sama. Mengajarkan bahwa kritik dan keluhan, tanda mahasiswa kurang bersyukur. Selalu memposisikan yg muda yg lemah dan tak pernah terima kasih.Mereka memakai paradigma birokrasi. Bahwa warga harus bersyukur telah diberi oleh para birokrat. pic.twitter.com/Xy1UdKaC6j— Koboi Kampus (@KabarUNY) April 27, 2020
Memposisikan
diri sebagai selebgram dan pejabat negara sepertinya cukup tricky bagi
(admin) SW. Sering, berbagai kritikan hanya ditanggapi secara template,
dengan “bersyukur dan berusaha”. Lamun, suatu petang, ia pernah sangat
intimidatif dalam menjawab kritikan soal Uang Pangkal Pengembangan Akademik
(UPPA). Tweet yang menjadi begitu menyakitkan serta menjengkelkan bagi kami,
khususnya mahasiswa seleksi mandiri.
Kebijakan UPPA
bagi mahasiswa baru seleksi mandiri diterapkan pada tahun 2018. Setahun setelah
SW ditetapkan sebagai Rektor UNY. SW berdalih bahwa ada peraturan menteri untuk
mahasiswa seleksi mandiri yang memperbolehkan menarik biaya sumbangan
pembangunan institusi. Entah benar ada tidaknya peraturan menteri tersebut,
adanya UPPA di UNY adalah sebuah pengkhianatan pada sistem bernama Uang Kuliah
Tunggal (UKT).
UKT merupakan
sistem pembayaran biaya kuliah yang ditujukan untuk menyederhanakan pembayaran
biaya kuliah dan mengantisipasi adanya pungli. Sehingga pembayaran biaya kuliah
hanya dilakukan sekali setiap semester. Serta, dengan diberlakukannya sistem
UKT, maka biaya sumbangan institusi, uang gedung, biaya administrasi, biaya
KKN-PPL, UPPA dan lain sejenisnya ditiadakan. Secara serentak, semua perguruan
tinggi negeri mulai memberlakukan UKT pada tahun 2013.
Dalam
sosialisasinya, Mahasiswa Baru (Maba) Seleksi Mandiri, kata SW, boleh memilih UPPA sebesar nol rupiah. Lantas, kalo
saya ditanya Maba, “Apakah nominal UPPA bisa mempengaruhi seleksi penerimaan?”
Jawab saya, “bisa jadi ‘iya’”. Lha wong formulir UPPA dengan materai
enam ribunya disepakati sebelum pengumuman penerimaan, kok.
Pun, berdiri
pada persimpangan antara selebgram dan pejabat negara, sering kali membuat penyikapan
situasi SW menjadi anti-klimaks. Bagaimana rasanya, ketika kami meminta kampus
mengeluarkan subsidi kuota internet, doi malah memposting enam laki-laki,
sejenis boyband, berdiri di depan Rektorat UNY?
Lho gimana akun resmi UNY
(@unyofficial)? Jangan harap akun ini selalu meresponsmu!
Lihatlah, saat
polemik UKT dimasa pandemi Covid-19 ini menyeruak ke permukaan. Tak ada
postingan SW yang menggambarkan bagaimana penyikapannya sebagai Rektor
UNY terhadap tuntutan mahasiswa. Malah, ia memposting konten face-app. Ramashook
tenan!
SW kerap
memainkan gimmick khas selebgram baru yang haus perhatian. Mengikuti trend,
tapi tanpa ada dampak yang keren. Omong-kosong pada pencitraan
dirinya sebagai sosok yang komunikatif dan (mendaku) mengerti psikologi
milenial. Berdoa saja semoga kita gak diprank dalam penurunan UKT ini.
Menjadi
selebgram atau youtuber sebenarnya adalah hak SW. Kita tak bisa melarangnya, tapi, sebagai pimpinan perguruan tinggi, ia tampak tak berupaya benar-benar
menyelesaikan permasalahan UKT. Tak hanya soal UKT, menurutku. Melihat
kapasitasnya, ia bisa pula mengintervensi Mendikbud Nadiem Makarim perihal
waktu yang tepat bagi memulai tahun ajaran baru, efektifkah penerapan kurikulum
Merdeka Belajar pada masa pandemi, dan soal evaluasi perkembangan belajar
online.
Majelis Rektor
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Indonesia sudah membuka rilisnya, tapi itu belum
benar-benar membuat Mendikbud ngeluarin kebijakan pemberian subsidi
kuota internet oleh negara atau benar-benar membuat PTN membuka informasi
penggunaan anggaran UKT semester 2019/2020, sebelum menyarankan solusi-solusi
pembayaran UKT pada semester selanjutnya. Surat terbuka dari
Dharmaningtiyas, pakar pendidikan Taman Siswa kepada Jokowi jelas lebih maju
beberapa langkah dibanding himbauan Majelis Rektor PTN Indonesia, serta jauh
meninggalkan SW (di belakang peradaban).
***
Bisa jadi, UNY
merupakan kampus dengan pelayanan impresif dalam kemudahan membayar
uang kuliah, tapi medioker (tidak ada yang spesial-red)
dan ribet dalam memberi subsidi bagi mahasiswanya. Dalam mempertahankan
legitimasi Surat Edaran tentang Penyesuaian UKT selama Pandemi Covid-19, SW
bersikukuh berdasarkan asas keadilan.
“Jangan sama
rata, harus berkeadilan, sesuai permasalahan yang dihadapi (mahasiswa). UNY
akan membantu case by case,” kata SW, dikutip dari Pandangan Jogja. Tapi, apakah
mampu tim verifikatur, secara adil, mengeluarkan putusannya? Dimana pada beberapa kasus penurunan UKT
sebelum pandemi saja ada banyak masalah yang terjadi.
Untuk ke sekian
kali kukatakan: pentingnya keterbukaan informasi anggaran UNY selama pandemi
Covid-19. UKT semester 2019/2020 yang telah kami bayarkan digunakan untuk apa?
Subsidi kuota internet dan sembako bagi mahasiswa rantau (kapan lagi nih dibagikan?)
berasal dari pundi-pundi pembiayaan mana?
Jika Sutrisna
Wibawa adalah Rektor UNY, ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
bertebaran dalam tulisan yang lebih dari 1500 kata ini. Tanpa gimmick,
tanpa perlu bergumam, “Yang bersyukur, berusaha ya.... Bla-bla”. Kalo tidak, ya
sudahlah, relakan dia jadi selebgram. Ayo cuti bersama~~
*) Kadang
ngetweet di @KabarUNY kadang dibatin aja.
Editor: Rachmad Ganta Semendawai
(y)
BalasHapus