Illustrasi: Afkari |
Bukankah
mengesalkan jatuh di lubang yang sama berkali-kali? Bukankah mengesalkan jika
masalah yang sama terulang kembali?
Kesal. Sangat
kesal.
Barangkali,
itulah yang kemudian membawa vigilante feminism ke permukaan. Bagaimana
orang-orang ini telah lelah pada satu masalah bernama kekerasan seksual.
Terlebih, apabila masalah ini dilanggengkan dengan perangkat budaya yang tidak
sehat, lalu menempatkan korban kekerasan seksual yang umumnya perempuan semakin
tidak berdaya.
Perempuan
sering kali mendapat diskriminasi yang justru lebih ketika melaporkan kekerasan
seksual yang ada. Daripada dukungan, sering kali yang muncul justru celaan akan
pakaian si perempuan yang "mengundang", dan sebagainya.
Bagi yang belum
familiar dengan istilah "vigilante feminism", penjelasan singkatnya adalah
sebagai berikut: "vigilante" menurut dictionary.cambridge.org
adalah orang yang mencoba mencegah kriminal dengan cara yang tidak resmi. Bisa
dengan menangkap dan menghukum seseorang yang melakukan tindak kriminal,
terlebih karena mereka merasa organisasi resmi seperti polisi tidak dapat
mengontrol kriminal secara efektif. Kelompok vigilante biasanya bergabung dan membentuk
sebuah kelompok.
Sementara
feminisme adalah sebuah keyakinan, ide, bahwasanya perempuan seharusnya juga
memilik hak, kekuatan, dan kesempatan yang sama sebagaimana laki-laki dan
diperlakukan sama, atau berbagai aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan untuk
mencapai kesetaraan tadi.
Vigilante
feminism sebagaimana disebut oleh Laura D’Amore adalah sebuah perilaku
vigilanteisme oleh perempuan yang mengambil perlindungannya sendiri dan perlindungan orang lain demi melawan tindak
kekerasan. Dalam hal ini seperti pelecehan seksual, abduksi, abuse, dan
trauma. Tentu langkah ini diambil karena jalur resmi tidak memberikan
perlindungan secara konkret.
Perempuan-perempuan
tersebut mencoba memasang tameng pertahanan dengan melakukan kekerasan pada
pelaku tindakan cabul. Mereka sejatinya membawa niat baik: memberikan efek jera
bagi pelaku dan menyebarkan narasi perlawanan sehingga mengantisipasi terjadinya
hal serupa. Akan tetapi, apakah hal ini benar-benar didukung oleh masyarakat?
Kasus pemerkosaan atau kekerasan seksual banyak terjadi di negara-negara dunia ketiga. Di mana mayoritas dari mereka masih memiliki ikatan kuat terhadap kebudayaan yang tidak sehat dan/atau mereka berada di tengah krisis. Terlebih jika kita secara lebih spesifik membicarakan korban perempuan.
Dalam daftar
yang diunggah oleh Strait Times, 9 dari 10 besar negara yang paling berbahaya
untuk perempuan adalah negara berkembang dan negara “timur”. Satu-satunya
negara “barat” yang masuk dalam daftar ini hanyalah Negeri Paman Sam.
Sementara
negara dengan jumlah pemerkosaan tertinggi (insiden setiap 100,000 penduduk)
adalah: Afrika Selatan (132.4), Botswana (92.9), Lesotho (82.7), Swaziland
(77.5), Bermuda (67.3), Swedia (63.5), Suriname (45.2), Costa Rica (36.7),
Nikaragua (31.6), Grenada (30.6).
Hal ini
merupakan sebuah dilema. Karena dalam masyarakat berkembang, mayoritas
perempuan dianggap tidak pantas melakukan tindak kekerasan. Dengan adanya
narasi ini, vigilante feminism harus menghadapi dua musuh sekaligus; pelaku
kekerasan seksual dan anggapan ketidakpantasan terhadap perilaku maskulinitas
perempuan. Atau seperti yang dikatakan Nishita Jain, seorang filmmaker, dalam
Al-Jazeera :
"Sangat ironis
bahwa di salah satu daerah yang paling terbelakang di India, perempuan dipaksa
untuk menjadi ‘maskulin’ dan agresif dalam perjuangan mereka melawan machismo
dan patriarki."
Nishita
membicarakan tentang Gulabi Gang. Sebuah kelompok di India berisi ibu-ibu
berpakaian sari berwarna pink yang akan memukul seorang pelaku
pemerkosaan.
Dalam kasus
Gulabi Gang, mereka kemudian membuat tindakan sendiri karena pemerintah yang
dinilai tidak bisa atau tidak berpihak dalam menangani kasus pemerkosaan yang
mayoritas korbannya perempuan. Gerakan ini diinisiasi oleh Sampat Pal Devi dari
Distrik Banda di Uttar Padesh, bagian Utara India.
Vigilante
Feminism bisa jadi merupakan aksi main hakim sendiri. Di bawah payung
konstitusi mayoritas (atau bahkan mungkin semua) negara, tindakan main hakim
sendiri tidak bisa dijustifikasi. Mengutip Pandji Pragiwaksono: “bahkan ketika
kamu merasa benar, itu tidak membenarkan kamu untuk berlaku apa saja pada yang
salah.”
Akan tetapi,
disinilah letak dilemanya. Pada kasus ini, sebagaimana yang ditekankan
sebelumnya, pemerintah dianggap tidak dapat menangani masalah ini. Sehingga
orang-orang mencari cara sendiri untuk mendapat keadilan.
Selain
keadilan, para perempuan ini juga menyuarakan hak mereka untuk merasa aman.
Mereka mencoba membuat sebuah mekanisme hukuman yang memberi efek jera untuk
pemerkosa. Harapannya agar tidak ada lagi, atau paling tidak mengurangi kasus
pemerkosaan, sehingga perempuan-perempuan ini bisa lebih leluasa
mengaktualisasikan diri mereka di ruang publik.
Ketika
perempuan bisa mengaktualisasikan dirinya di ruang publik, kesempatan perempuan
untuk menduduki jabatan strategis di pemerintahan lebih besar. Sehingga
kebijakan-kebijakan negara yang berpihak pada perempuan dapat menunjukkan
progres perbaikan yang berarti.
Bagaimana
dengan kasus-kasus serupa di Indonesia?
Menurut
“Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2019”. Pada ranah publik dan komunitas,
kekerasan terhadap perempuan tercatat setidaknya berjumlah 3.602 kasus. Dari 58% di antaranya merupakan kekerasan
seksual yaitu pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan
seksual (520 kasus). Sementara itu persetubuhan sebanyak 176 kasus, sisanya
adalah percobaan perkosaan dan persetubuhan.
Dalam masalah kekerasan seksual, tabel dalam laporan yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan adalah sebagai berikut :
Dapat dilihat bahwasanya kasus kekerasan seksual selama 10 tahun terakhir meningkat. Ketika negara tetangga kita seperti Timor Leste sudah mulai terbuka dan memiliki festival perayaan terkait gender, ide-ide konservatisme justru meningkat di Indonesia.
Salah satu narasi yang sering dibawa adalah domestikasi perempuan. Hal ini ditambah dengan justifikasi agama yang belum tentu benar atau bahkan diinterpretasikan oleh seseorang yang belum tentu memiliki kapabilitas dalam tafsir sebuah ayat dalam kitab suci.
Sementara, di Indonesia, sebagaimana banyak negara berkembang lainnya, budaya dan agama menjadi sebuah perangkat nilai yang sangat diutamakan dalam suatu masyarakat. Satu sisi hal tersebut dapat dilihat sebagai kabar baik. Terlebih bila para pemuka agama merupakan seseorang yang benar-benar arif.
Akan tetapi, menjadi
problematik, ketika adanya oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang sering kali
menjadi penafsir ayat-ayat suci secara serampangan. Hingga berdampak buruk
terhadap kemajuan bangsa, khususnya kemajuan para perempuan.
Sekedar
Berjalan dengan Rasa Aman
Beberapa waktu yang lalu, seorang teman laki-laki saya memberitahu sebuah kasus tentang dia yang nyaris menjadi korban pelecehan seksual. Dia menceritakan bagaimana ia masih trauma dan marah dengan kejadian yang dialaminya serta merasa tidak aman berada di tempat kejadian tersebut. Sebagai orang yang nyaris menjadi korban, dengan semangat dia mengatakan RUU PKS harus segera disahkan.
Pada akhirnya,
teman saya itu memilih untuk tidak melaporkan ke pihak berwajib. Dia merasa
kurang bukti dan tidak aman untuk berbicara selama RUU PKS masih dianggap
“terlalu sulit” untuk dibahas. Saya lalu memberitahunya bahwa hal tersebutlah
yang dirasakan banyak perempuan selama ini. Mereka harus menghadapi rasa tidak
aman ketika pulang larut malam. Mereka juga harus menghadapi rasa tidak aman
ini ketika sekedar berjalan di kerumunan lelaki yang belum paham terkait
pelecehan seksual. Sehingga perempuan-perempuan ini kerap mengalami pelecehan
berupa catcalling.
Apa yang tertulis
dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan baru angka di permukaan. Saya kira
sebenarnya banyak korban yang tidak melaporkan kasusnya karena takut akan
stigma sosial, takut dengan pelaku, atau takut tidak ada yang membela.
Kalau melihat
kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat seperti yang disebutkan tadi,
haruskah kita membuat "gulabi gang" yang lain di Indonesia?
Saya tidak
berpikir demikian, saya masih memiliki harapan bahwasanya masyarakat ini
diwariskan dengan rasa saling menghormati terlepas dari perbedaan termasuk
perbedaan gender.
I hope I don’t have to make my own way to seek for justice, I don’t want to fight fire with fire, I don’t want to start any fire. I want to fight for justice. That’s all.
Afkari
Editor: Rachmad Ganta Semendawai