XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Penanggulangan Flu Spanyol di Hindia Belanda 1918-1919



Mobil demonstrasi Dinas (Jawatan) Kesehatan Masyarakat, sekitar tahun 1925. Diambil oleh P. Orchard (Foto: wikimedia commons).

Flu Spanyol merupakan varian influenza yang terkenal paling mematikan dan telah memakan korban hingga puluhan juta orang pada awal abad 20. Pandemi ini menyebar secara global dalam kurun waktu yang singkat. Terdapat sebuah laporan bahwa influenza varian ini pertama kali ditemukan dalam resimen tentara Amerika di Prancis pertengahan Mei 1918, kemudian dengan cepat menulari tentara Prancis dan Inggris.

 

Penyebutan pandemi influenza 1918 sebagai Flu Spanyol tidak terlepas dari berlangsungnya Perang Dunia I. Pemberitaan mengenai wabah ini tidak akan dilakukan oleh negara yang berperang guna menjaga moralitas para prajurit mereka. Lain hal dengan Spanyol sebagai negara netral, memperbolehkan pers mengumumkan kasus influenza 1918 untuk pertama kalinya. Oleh sebab itu, influenza 1918 lebih dikenal sebagai Flu Spanyol.

 

Penyebaran wabah ini kemudian merebak hingga Asia, tak terkecuali Hindia Belanda. Mendaratnya Flu Spanyol di Hindia Belanda tidak diketahui secara pasti karena pemerintah fokus pada kondisi negara; ekonomi dan sosial akibat perang yang berkecamuk di Eropa. Pemerintah kolonial menganggap Flu Spanyol sebagai penyakit biasa dan tidak terlalu memperhatikannya, mirip dengan sikap pemerintah Indonesia pada awal pandemi Covid-19.

 

Hal tersebut disebabkan karena penyakit dengan gejala hampir sama sudah ditemukan di Hindia Belanda sebelumnya. Penyakit ini disebut Griep yang disebabkan oleh kuman bernama Pfeiffer. Namun, penyakit ini masih bersifat lokal dan hanya melanda suatu komunitas tertentu sehingga belum dikategorikan sebagai epidemi. Jumlah korban dari Griep sendiri tergolong rendah bila dibandingkan dengan jumlah penduduk.

 

Sebenarnya pemerintah Hindia Belanda telah mendapatkan peringatan dari konsul Belanda di Singapura. Setelah mendapatkan informasi dari konsul Belanda di Hongkong bahwa koloni Inggris memperingatkan warganya mengenai influenza berasal dari penumpang kapal asal Cina, konsul Belanda di Singapura meminta pemerintah Hindia Belanda untuk mencegah kapal-kapal dari Hongkong mendarat di pelabuhan Batavia.

 

Pemerintah Hindia Belanda kemudian merespon hal tersebut sebatas dengan memperketat pengawasan kapal yang datang dari Hongkong. Akibatnya, dampak baru disadari tiga bulan setelah peringatan tersebut. Sekitar Bulan Juli 1918, pemerintah mendapatkan laporan dari berbagai rumah sakit di Hindia Belanda mengenai beberapa orang yang terjangkit influenza. Jumlah korban semakin meningkat pada Bulan Agustus hingga September.

 

Kodisi semakin jelas terlihat parah setelah beberapa penguasa daerah mengirimkan kabar mengenai influenza di daerah mereka. Awal November 1918, kepala daerah Banjarmasin mengirimkan telegram darurat yang berisi pernyataan bahwa daerahnya terserang wabah influenza. Di akhir Novermber, Asisten Residen Buleleng melaporkan kenaikan jumlah korban influenza dan pada 2 Desember 1918 Asisten Residen Banyuwangi melaporkan hal yang sama.

 

Dalam kurun waktu satu pekan, Flu Spanyol menyebar hampir di seluruh Pulau Jawa. Surabaya sebagai kota pelabuhan disinyalir sebagai pintu masuk penyakit ini ke daerah yang lain. Pemerintah juga mendapatkan laporan bahwa influenza telah masuk ke Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat kemudian melakukan beberapa upaya untuk membendung penyebaran flu agar tidak semakin parah.

 

Melalui Burgerlijke Gezondhied Dienst (Dinas Kesehatan Rakyat)pemerintah daerah memerintahkan laboratorium penelitian untuk menemukan obat serta mencari solusi penyembuhan terhadap pasien influenza. Laboratorium di Batavia menemukan ramuan dengan produk tablet yang mengandung 0,250 aspirin, 0,150 pulvis doveri, dan 1,00 camphara. Total 100 ribu butir diproduksi kemudian dibagikan pada masyarakat.

 

Masyarakat juga mencari penyembuhan lewat ramuan tradisonal selain obat-obatan medis. Contohnya adalah masyarakat Rembang yang meracik obat dari bahan herbal seperti temulawak guna mencegah seseorang dari rasa dingin dan memulihkan gairah fisik. Pengobatan ini dibuat setelah beberapa gejala dari pasien yang diketahui adalah tubuh lemas dan kedinginan. Ramuan ini kemudian juga ikut beredar di tengah masyarakat.

 

Di daerah lain, masyarakat menghubungkan wabah ini dengan kepercayaan metafisik. Mereka mengaitkan pandemi flu ini dengan pelanggaran norma atau pantangan adat yang sudah berlaku. Misalnya, pelanggaran di tempat yang dianggap sakral dan gangguan dari roh penunggu. Oleh karena itu, banyak dari masyarakat melaksanakan upacara-upacara adat di makam-makam suci maupun upacara sesajen; menyembelih hewan-hewan tertentu.

 

Setelah mendapat beberapa laporan mengerikan mengenai Flu Spanyol, pemerintah kolonial segera membentuk tim guna menanggulangi penyebaran yang lebih massif. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa penularan Flu Spanyol adalah melalui udara. Maka, pemerintah menginstruksikan pembagian masker kepada masyarakat untuk meminimalisir dan menekan penularan penyakit ini.

 

Pemerintah Hindia Belanda juga melakukan upaya lain melalui propaganda. Diantaranya lewat sosialisasi dalam birokrasi. Pemerintah menyebarkan informasi seputar influenza melalui satuan administrasi hingga tingkat paling rendah seperti desa. Selain itu, pemerintah meminta Direktur Pendidikan dan Agama berpartisipasi dalam menanggulangi pandemi. Terbitlah buku pedoman mengenai influenza yang ditulis dalam huruf dan bahasa Jawa.

 

Ditengah keseriusan penanganan pendemi, terjadi suatu masalah yang muncul terlepas dari perkiraan dan rencana pemerintah. Problem ini muncul ketika puncak pandemi terjadi di akhir tahun 1918. Penyebaran kasus yang massif dan meningkat secara signifikan mengakibatkan penghitungan terhadap pasien terdampak sangat sulit. Dari sini mulai banyak kabar yang tidak jelas mengenai perkembangan pandemi.

 

Dalam situasi yang runyam, Asisten Residen Surabaya melakukan konferensi pers. Dia menyebutkan bahwa wilayahnya menjadi yang terparah dengan korban meninggal mencapai satu setengah juta dalam waktu satu minggu. Kabar ini menimbulkan kekacauan dalam jajaran petinggi pemerintahan di Batavia. Pemerintah kemudian mengutus kepala kantor Dinas Kesehatan Rakyat untuk melakukan penelitian terhadap validitas kabar Asisten Residen Surabaya tersebut.

 

Dr. de Vogel selaku pimpinan tim khusus influenza kemudian berangkat ke Surabaya untuk bertemu Residen sembari melakukan penelitian. Dalam kunjungannya, Dr. de Vogel menemukan fakta bahwa kabar dari Asisten Residen salah. Namun, de Vogel mendapatkan banyak informasi berharga sebagai modal penanganan pandemi. Melalui analisisnya, de Vogel menemukan solusi atas problem yang terjadi ditengah pandemi ini.

 

Salah satunya adalah kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah memutuskan kebijakan mereka sendiri-sendiri dengan argumentasi bahwa mereka belum menemukan dasar hukum yang kuat untuk melaksanakan instruksi pemerintah pusat Hindia Belanda. Dr. de Vogel mengusulkan sebuah rancangan peraturan guna mengatasi masalah tersebut yang dikemudian hari dikenal dengan Influenza Ordonantie.

 

Pada awal pengesahannya banyak pihak yang tidak setuju dengan poin-poin Influenza Ordonantie. Salah satunya adalah protes dari perusahaan KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschappij). Namun, dengan data dan analisis de Vogel, Influenza Ordonantie dapat dijadikan upaya tepat penanggulangan pendemi. Salah satunya poin yang merujuk pada peraturan karantina  tahun 1911 yang dimuat dalam Staatsblad.

 

Peristiwa sejarah tidak dapat terulang, namun pola dalam sejarah akan selalu melingkar dalam perkembangan kehidupan manusia. Dari peristiwa Flu Spanyol di Hindia Belanda, pemerintah Indonesia seharusnya mampu belajar dan mengevaluasi kesalahan dalam konteks penanggulangan pendemi semacam ini.

 

Referensi

 

 

Haedar Putra Pratama

Editor: Rientania Nuhanida S.

 

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar