XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Eksistensi Mitos di Era Gempuran Sains

Ilustrasi: Erico Aby Pratama

Dalam buku Mythologies, Roland Barthes menjelaskan bahwa mitos merupakan suatu pesan yang ingin disampaikan oleh pemilik mitos sebagai hasil dari wicara, bukan dari bahasa. Di dalam masyarakat Indonesia, mitos sangat berkembang pesat di berbagai bidang kehidupan. Namun, ternyata ada beberapa masyarakat Indonesia yang telah menganggap mitos sebagai takhayul belaka yang tidak dapat dicari kebenarannya. Bahkan, diantara mereka yang tidak percaya mitos malah melakukan perbuatan melanggar mitos yang berkembang di masyarakat dengan dalih lebih percaya pada pemikiran rasional. Mengapa mitos menjadi suatu hal yang tabu di masyarakat zaman sekarang? Apakah mitos tidak bisa bersanding dengan sains di tengah meleknya intelektual manusia sekarang? Mari kita kupas satu per satu.

Anggapan Tabu Terhadap Mitos

Beberapa masyarakat Indonesia ternyata sudah tidak dapat lagi mempercayai mitos. Bagi mereka, mitos merupakan tradisi klenik yang sudah tidak relevan lagi berkembang. Terlebih lagi dengan perkembangan zaman yang serba maju, mulai dari teknologi hingga pemikiran intelektual. Menurut saya, anggapan tersebut salah besar. Tidak percaya mitos tentu sah-sah saja, tetapi menganggap mitos sebagai hal yang terbelakang tentu tidak dapat dibenarkan.

 Mitos merupakan salah satu cara yang digunakan manusia zaman dulu untuk memahami alam karena manusia zaman dulu menganggap dirinya bersatu dengan alam (kosmosentris). Dengan kata lain, sebelum ada sains maupun teknologi, manusia menggunakan mitos untuk memahami alam maupun memahami dirinya sendiri. Lalu, apakah perkembangan mitos dapat dianggap tidak perlu?

 Jika berkaca pada teori Tahap Perkembangan Masyarakat,  Auguste Comte mengklasifikasi masyarakat menjadi tiga tahap, yakni tahap teologis, metafisik, dan positivis. Kini, masyarakat telah berada pada tahap positivis dimana sains telah berkembang dengan pesat. Tahap tersebut dapat memberikan arti bahwa mitos sudah tidak lagi dianggap.

Namun, menurut saya terdapat ketidaktepatan identifikasi tahap dari Auguste Comte ini, misalnya Comte tidak membedakan masyarakat awam maupun masyarakat intelektual sehingga terjadi campur aduk masyarakat. Seharusnya, yang diidentifikasi ialah golongan terpelajar. Pada hakikatnya, pikiran manusia itu mengalami tahapan teologis, metafisik, hingga positivis. Artinya, ketiga tahapan itu dapat berjalan secara bersama-sama, tidak harus dihilangkan salah satu terutama saat membahas suatu perkembangan peradaban masyarakat.

 Maka dapat menjawab pertanyaan di awal, Apakah perkembangan mitos dapat dianggap tidak perlu? Jawabannya masih perlu karena mitos dan sains dapat digunakan secara bersama-sama dalam memahami berbagai bidang kehidupan masyarakat.

 

Cara Kerja Mitos Berbeda Dengan Sains

Bagi masyarakat yang menolak mitos, mereka pasti akan membeda-bedakan antara mitos dengan sains. Mereka akan menganggap sains merupakan hasil pemikiran rasional yang dapat dibuktikan secara ilmiah, sedangkan mitos hanyalah cerita liar yang dikarang oleh masyarakat zaman dulu yang belum tentu terbukti kebenarannya. Sejatinya cara kerja antara mitos dengan sains sangat berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama.

 Pada masa kontemporer, seorang pemikir bernama Roland Barthes menjelaskan bahwa mitos bukanlah suatu ide, gagasan, dan objek, melainkan suatu cara menyampaikan ide, gagasan, dan objek. Sebenarnya, mitos lebih dekat dengan linguistik dan menjadi penanda dari sesuatu. Bedanya, linguistik berada pada makna sesungguhnya (denotatif), sedangkan mitos berada pada makna kiasan (konotatif).

Menurut Ferdinand de Saussure, Linguistik sebagai tanda memiliki bagian berupa penanda (signifier) dan tinanda (signified) yang kemudian disebut sebagai Tahap Pertama (Bahasa Objek). Sedangkan, menurut Roland Barthes, mitos terdapat pada Tahap Kedua (Meta Bahasa). Tanda pada Tahap Pertama akan menjadi penanda pada Tahap Kedua. Penanda pada Tahap Kedua ini kemudian disebut sebagai bentuk, lalu tinanda disebut sebagai konsep, dan tanda disebut sebagai pertandaan (Signification).

Berbeda dengan mitos, cara kerja sains lebih menekankan dalam mencari suatu relasi sebab-akibat ataupun pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Sains memiliki sebuah asumsi dasar yang meyakini tidak ada suatu kejadian tanpa suatu sebab. Sehingga di dalam sains, sebab-akibat memiliki relasi rasionalitas yang begitu kuat.

 

Relasi yang Kuat Antara Mitos Dengan Sains

Seringkali satu pertanyaan muncul, "Mana yang harus kita percaya? Mitos ataukah sains?” Perlu kita sadari bahwa mitos dan sains merupakan hal yang berbeda, akan tetapi tidak bertentangan satu sama lain. Mitos dan sains memiliki area, cara kerja, dan logika masing-masing.

 Pesatnya perkembangan sains dan teknologi, tidak melunturkan eksistensi  mitos. Hal tersebut didukung oleh beberapa penelitian saintifik yang terinspirasi dari mitos. Contohnya, mitos pohon beringin yang seringkali diidentikkan sebagai tempat bersemayamnya makhluk halus (re: Genderuwo dan Kuntilanak). Pohon beringin merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomi rendah dibandingkan dengan komoditas lainnya. Sebab pohon ini tidak memiliki buah yang dapat dimakan dan kayunya bukan untuk bahan mebel. Namun secara saintifik, pohon beringin memiliki kegunaan untuk mencegah terjadinya longsor dan akarnya berdaya serap tinggi.  Keberadaan mitos pohon beringin sebagai tempat bersemayamnya makhluk astral ternyata dapat menyelamatkan tanaman tersebut yang memiliki berbagai manfaat di lingkungan sekitar.

Tak hanya sebagai inspirasi penelitian santifik, mitos juga dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang rasional. Hal itu dicontohkan saat Plato mengemukakan mengenai konsep manusia menjadi empat bagian, yaitu Ephitumia (nafsu rendah), Thumoz (nafsu tinggi), Logosticon (akal rasional), dan Eros (akal irasional). Konsep manusia tersebut, dianalogikan oleh Plato sebagai delman beserta kusirnya. Dimana Ephitumia menjadi kuda hitam, Thumoz sebagai kuda putih, Logosticon sebagai kusir, dan Eros sebagai sayap dari delman. Analogi tersebut dapat diartikan bahwa berpikir pada hakikatnya bertujuan untuk memperoleh suatu informasi. Ibaratnya, berpikir sebagai suatu kegiatan dan akal sebagai alatnya. Analogi konsep manusia ini sarat akan nuansa mitos yang bahkan dipakai oleh Plato seorang filsuf  untuk dituntut selalu berpikir secara rasional.

Walaupun cara berpikir sains dan mitos berbeda, tetapi ternyata ada beberapa kesamaan pada keduanya. Misalnya, keduanya sama-sama mencari asal-usul semesta. Dalam mitologi Yunani, alam semesta itu kosong, lalu timbul kekacauan hingga muncul Gaia (Dewi Yunani Bumi) yang menciptakan segala hal di bumi. Dalam sains, asal-usul alam semesta berawal dari sebuah ledakan besar yang disebut sebagai Big Bang Theory. Dari ledakan tersebut, terjadilah evolusi yang memunculkan keragaman alam semesta. Dapat dikatakan mitos dan sains  menjelaskan fenomena yang terjadi di masyarakat, walaupun hasil akhirnya berbeda. Hasil mitos bersifat mistik, sedangkan sains bersifat mekanistik.

 

Pada akhirnya, asumsi negatif pada mitos yang dianggap terbelakang dibandingkan sains ternyata salah besar. Faktanya, kedua hal tersebut dapat berjalan secara beriringan. Seorang intelektual tidak harus berpatokan pada pemikiran saintis karena cara berpikirnya akan menjadi terbatas. Sedangkan orang yang percaya mitos tidak ada salahnya untuk belajar pada sains karena banyak penelitian saintifik yang membuktikan bahwa mitos itu dapat bekerja. Mitos dan sains memang dua cara berpikir yang berbeda, tetapi tidak ada salahnya untuk membuka diri pada keduanya yang mungkin dapat mendatangkan suatu kebenaran.

==================

Opini adalah gagasan pribadi penulis.


Laurentius Aditya Pradana

Editor: Irfan Arfianto

 

Related Posts

Related Posts

1 komentar