XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Muak Dengan Kotanya, Jadi Bahan Bakar DOM 65 Berkarya



Dom 65, Imam Senoaji (kiri), Kemal Akbar (tengah), Adnand Kusuma (kanan). Foto: Akun Twitter Dom 65 

Hapuskan semua imajinasi tentang keromantisan Jogja, lupakan lirik-lirik lagu soal indahnya Jogja, mulailah mendengar DOM 65 dengan kemarahan atas tanah kelahirannya. DOM 65 bagaikan sebuah kanker yang merusak tubuh. Tubuh yang tercipta dari narasi-narasi romantisnya Jogjakarta.

***

Setiap orang yang membayangkan Jogja, pasti selalu teringat lagu “Yogyakartamilik Kla Project, atau “Ada Sesuatu Di Jogja” karya Aditya Sofyan. Dengan lirik-lirik yang begitu indah menggambarkan Jogja, membuat pendengarnya (mungkin) bisa merasakan indahnya hidup di Jogja. Namun, apakah Kla Project dan Aditya Sofyan pernah benar-benar hidup di Jogja? Atau merasakan menjadi orang yang lahir di Jogja?

Kehidupan di Jogja nampaknya tidak lagi seindah karya Kla Project dan Aditya Sofyan, jika kita melihat realitas yang terjadi. Berbagai permasalahan seperti Upah Minimum Provinsi (UMP) yang rendah, kondisi kejiwaan yang tidak stabil karena kondisi ekonomi, dan pariwisata yang awur-awuran adalah contoh bahwa Jogja tidak seindah itu.

Semua permasalahan di atas dirangkum dengan apik dalam karya-karya DOM 65. Band beraliran Street Punk yang lahir di Jogja tahun 1997 ini menjadi anti-tesis dari romantisme Jogja. Digawangi tiga orang personil, Imam Senoaji (Vokal/gitar), Adnan Kusuma (Bass), dan Kemal Akbar (Drum), DOM 65 mampu mengobrak-abrik kemapanan romantisasi atas kotanya, Jogja.

Band yang menjuluki dirinya sebagai “The Greatest Asshole Street Punk” ini mampu menawarkan narasi lain tentang Jogja. Dengan kejujuran, DOM 65 menuliskan lirik dalam karya-karyanya secara gamblang tentang realitas yang terjadi. Seperti kata James Lull dalam bukunya, Popular Music and Communication, musik adalah sebuah ekspresi metafora yang berhubungan langsung dengan realitas sosial.  

Definisi musik di atas begitu selaras dengan apa yang DOM 65 tuliskan. Dalam single berjudul “30 Tahun Pengangguran,” band punk kawakan ini mencoba menjelaskan susahnya mencari pekerjaan di kota yang selalu diidentikkan dengan pendidikan. Pun, ketika mendapat pekerjaan, harus berada dalam bayang-bayang pemecatan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal itu menimbulkan angka pengangguran yang cukup besar. Data dari Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) DIY di tahun 2022, jumlah pengangguran di Kota Yogyakarta sebesar 23.923 orang.

Penggalan lirik dari lagu 30 Tahun Pengangguran: "Hidup di kota pendidikan//menatap beton perhotelan//Melata gagap di tengah kemacetan, tertunduk resah seorang pengangguran//Hidup bosan sebagai karyawan swasta, tanpa jaminan dan berakhir dengan PHK. Meski sudah berumur tiga tahun, single yang dirilis di pertengahan 2020 ini masih relate dengan kondisi Jogja hari ini.

Cover single “30 Tahun Pengangguran” yang dirilis oleh Dugtrax Records. Foto: Cover Album 30 Tahun Pengangguran 


Selain jumlah pengangguran yang angkanya cukup tinggi, permasalahan pariwisata juga termaktub dalam lirik “30 Tahun Pengangguran.” Menatap beton perhotelan. Di balik ingar-bingar pariwisata, ada sisi gelap yang ditutupi, yakni masalah pembangunan hotel.

Digenjotnya pariwisata di Jogja membuat pembangunan hotel begitu masif. Data Bappeda DIY tahun 2023 menunjukkan ada sekitar 1.696 hotel berdiri di Jogja. Di balik megahnya beton-beton itu berdiri, ada berbagai problem yang menyertai. Mulai dari warga lokal yang tergusur, hingga sumur yang kosong karena air tanah disedot habis oleh hotel.

Permasalahan pariwisata tidak berhenti di situ saja. Menilik salah satu lagu di Extended Play (EP) “Gembel Perumahan,” sepertinya relevan jika mengunjungi Jogja ketika tanggal merah atau hari libur. Jalanan yang macet dan dipenuhi puluhan bus pariwisata. Lagu berjudul “Jumbo Bus” yang dirilis dalam EP “Gembel Perumahan,” membawa imajinasi bagaimana macetnya Jogja ketika akhir pekan atau musim liburan.

“Keluar gang menuju jalan raya, jalan sesak oleh bus pariwisata//keluar rumah nonton karnaval jumbo bus//rekreasi ini malapetaka, famili terkapar entah tak kemana-mana.” Sepenggal potongan lirik dari lagu dengan distorsi yang tinggi ini, seolah mengatakan bahwa: pariwisata mempersempit mobilitas warga Jogja.

Ketika musim liburan datang, kemacetan di Jogja memang tidak bisa dihindarkan. Hal itu membuat warga Jogja yang memiliki mobilitas tinggi di luar rumah menjadi terganggu. Bahkan, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY menghimbau warganya untuk berdiam diri di rumah dan mengalah dengan wisatawan. Jadi, alih-alih menata ulang pengelolaan pariwisata yang buruk, Pemda DIY justru memilih mengorbankan warganya sendiri.

Cover EP “Gembel Perumahan” yang dirilis di akhir tahun 2022 oleh Sinar Suara Records. Foto: ‎Gembel Perumahan - EP by Dom 65 on Apple Music


            Beberapa permasalahan di atas nampaknya sudah menjelaskan sisi lain dari Jogja. Namun, borok itu tidak berhenti di situ saja. Sisi gelap lain masih bersembunyi. Sisi gelap yang mungkin jarang diketahui. Yakni gangguan kejiwaan. Ya, sebagian warga Jogja mengalami gangguan kejiwaan.

Bagi wisatawan, atau orang yang melihat Jogja sebagai entitas romantis, pasti tidak pernah membayangkan “masalah” tersebut. Ditambah lagi dengan narasi bahwa orang Jogja selalu bahagia dan narimo. Sudah pasti, sekali saja tidak pernah terlintas di kepala mereka tentang ruwetnya kota ini. Tetapi, begitulah adanya.

    Berbekal data dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Imam—penulis lirik—mulai menggoreskan penanya, dan lahirlah single “Saraf.” Hentakan drum yang keras dan lirik nun puitis, single ini mampu membalut sebuah keresahan dengan elegan. Selain puitis, lagu “Saraf” juga sangat easy listening.

    “Aku sebuah sistem//Aku pencipta//Aku tak mengabdi//dan aku menyangkal//Saraf, sakit saraf//Saraf, sakit saraf. Begitulah penggalan lirik dari single yang di rilis ketika masa pandemi kemarin. Dalam sebuah wawancara, Imam menjelaskan bahwa makna dari lagu ini adalah bentuk keirian. Seorang yang waras, iri dengan orang gila. Keirian ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, orang gila tidak pernah diselimuti masalah. Sedangkan, orang waras selalu bergelut dengan berbagai permasalahan, terutama ekonomi.


Sosok orang gila menjadi cover single “Saraf” yang dirilis oleh Dugtrax Records di tahun 2020. Foto: Saraf | DOM 65 | DUGTRAX RECORDS (bandcamp.com)


    Cover yang nyeleneh, lirik yang puitis, dan pekikan suara Imam yang lantang, membuat single ini nampak solid. Dengan kondisi sepertiga warga Jogja yang depresi akibat pandemi, dan keserakahan penguasa yang menghimpit ekonomi, membuat “Saraf” terlihat nyata. Sebuah representasi realitas dari narimo ing pandum dalam ketimpangan.

    Ketiga karya DOM 65 di atas, berhasil menunjukkan bahwa Jogja tidak se-“istimewa” itu. Dibalik gemerlapnya lampu Malioboro, hiruk-pikuk pelancong yang berwisata, dan iklan pariwisata di sosial media, ternyata banyak sisi kelam menyelimuti Jogja.

    Pada akhirnya, DOM 65 lebih pantas menggambarkan Jogja daripada musisi lainya. DOM 65 lebih paham kondisi kotanya daripada pemusik arus utama ibu kota. DOM 65 lebih layak melukiskan Jogja dengan segala kebobrokan yang ada.

    Sedikit menyunting dari lirik lagu “Bersemi Sekebun” karya Efek Rumah Kaca: Terus tumbulah liar seperti gulma, DOM Enam Lima!


Zhafran Naufal Hilmy

Editor: Aisya Puja Ray

Related Posts

Related Posts

2 komentar